Sabtu, 20 November 2010

COVER


COVER

puisi cinta

hidup adalah sebuah cerita. semuanya akan datang dan semuanya juga akan pergi sesuai dengan waktu yang sudah di tentukan oleh tuhan kita.
apapun yang terjadi pada hidup kita anggaplah itu sebagai bagian dari hidup kita yang tidak boleh tidak harus terjadi.

puisi cinta

cinta terus berlari,
cinta terus dikejar,
cinta tak berhenti,
cinta melihat kedepan,
cinta tak menengok kebelakang,
cinta berjalan lurus,
cinta tak mengambil jalan belok,
cinta tak pernah lelah mengambil jalan,
sebab cinta melahirkan kekuatan …

puisi cinta

Jikahati adalah istana,
Cinta adalah singgasana,
Ketulusan ialah mahkota,
Kesetiaan ialah piala terindah
dan senyum seorang kekasih adalah tahta,
Serta kejujuran & kepercayaan adalah pusaka..!

puisi cinta

Bintang yang terang
sinarmu sungguh indah
keindahanmu mengingatkan aku
pada seseorang…………
dimana aku sangat merindukannya
malam yang begitu sunyi……….
mengapa dia tak hadir untuk menemaniku
angin yang berhembs dengan kencang……….
Tuhan sampaikan salam ku padanya
bahwa aku sangat merindukannya
kuingin dia selalu mencintaiku
dimanapun dia melangkah
SETIAP KATAKU ADALAH KATA CINTA PADAMU
DIHATIKU HANYA ADA SATU NAMA YAITU KAMU
SETIAP LANGKAHKU HANYA UNTUKMU
AKU HIDUP UNTUK MENCINTAIMU
DAN AKU MATIPUN AKAN AKU KENANG DIRIMU

puisi cinta

gerimis tak merindukan danau….
hanya membuat camar termangu…
tak bisa terbang….
tak bisa menangis…
hanya dpt membasahi baju…
berapakali aku ucapkan….???
berapa kali aku harus termangu…???
berapa lama aku harus terdiam 1000 bahasa pada mu…???

pusi cinta

cinta bagaikan air laut yang mengisi sebagian isi bumi…
memberi banyak kehidupan..
membuat orang ingin tahu..
dan tiap orang pasti mengalami cinta..
cinta itu keikhlasan..
cinta itu kemauan..
cinta itu saling mengerti..
cinta itu indah jika kita bisa menempatkannya pada tempat terbaik dalam hati..
jadikan cinta itu indah dihatimu..
karena cinta bisa seindah yang kau mau
“Edi aku mencintaimu”
Dalam segala kurang dan lebihmu
Dalam pintaku pada-NYA terselip namamu yang selalu kurindu
i Lup U

puisi cinta

hati ini trasa sunyi tanpa nafas cintamu,,
hidup ini sepi tanpa senyuman darimu
diri inisenyap tanpa jiwa kasih mu,,
ruang hatiku gelap tanpa arah tuk melangkah
cinta,,,
mengapa semua harus terjadi???
mengapa disaat terang dunia kalbuku kau berlalu
kau tinggalkan sepenggal dusta dalam rasa,,
cinta..
aku hanya mampu memeluk rasa
memeluk mimpi senja yng kelabu
meniti harapan fajar kelana,,
cinta..
kau buat aku tak yakin untuk melangkah
kau beri aku segenggam luka
mengapa cahaya pelangi menjadi api,,
selamat jalan cinta,,
selamat berbahagia di atas luka ku,,
biarkan kata merangkai hati serupa darah dibalik tirai….

cerpen lucu

Kalau Main Dokter-Dokteran Jangan di Ruang Tamu
Sepasang suami istri tertangkap basah oleh anak mereka ketika sedang melakukan hubungan badan di ruang tamu. Pasangan suami istri itu berusaha menjelaskan kepada anak mereka yang setengah remaja itu, bahwa mereka sedang bergurau dan bermain dokter-dokteran.

Dengan santai si anak menasihati orang tuanya itu, "Kalau mau main dokter-dokteran jangan di ruang tamu, nanti kalau ada orang ngeliat kan disangka sedang melakukan hubungan suami-istri....!"

cerpen lucu

Kalo Kerja Pake Ini
Kerja pake ini Di suatu pinggiran kota, hiduplah seorang nyonya yang cukup (sedikit mampu) dengan pembantunya yang selalu buat masalah.

Suatu hari, pembantu itu memecahkan piring untuk kesekian kalinya... akhirnya nyonya itu memanggil pembantunya sambil memaki berkata," Minah....kamu ini gimana...dasar org goblok, makanya kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk lututnya) tapi pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red)...kamu saya pecat.."akhirnya pembantunya pergi...

5 tahun kemudian, di suatu Supermarket..si Nyonya ketemu dengan pembantunya yang dulu tapi dengan pakaian yang mewah dengan banyak perhiasan emas...

Si-nyonya memanggil," Minah, kok kamu sekarang berubah..menjadi kaya...kok bisa????
Si-pembantunya menjawab," makanya Bu, kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red) tapi pake ini donk (sambil nunjuk dii antara pahanya)...."?#$#@"

cerpen lucu

Sakit kanker ato Aids??
Seorang penderita kanker di beritahukan oleh dokternya bahwa hidupnya tidak lama lagi hanya sekitar 2 minggu lagi. Mendengar khabar tak mengenakkan hati, ia memberitahukan anaknya untuk segera mengadakan pesta besar perpisahan.

Ditengah kawan-kawannya ia menyatakan : “Maaf teman-teman, Saya mengumpulkan Kalian agar tahu bahwa Saya tak lama lagi akan meninggalkan Kalian, AIDS telah merongrong tubuh Saya.”

Anaknya dengan heran bertanya : “Ayah, mengapa Ayah berbohong atas penyebab kematian Ayah?”

Ayahnya menjawab : “Sssst, aku tak mau salah seorang dari mereka akan tidur dengan Ibumu yang cantik setelah aku meninggal kelak !”

cerpen lucu

Pemeras Kecil
Seorang anak kecil yang bandel melihat kakaknya dicium oleh teman lelakinya. Esok harinya, ia menemui lelaki itu.

“Abang semalam mencium kakakku bukan?”
“Ya, tapi jangan keras-keras. Ini seribu untuk tutup mulut!”
“Terima kasih, ini uang kembaliannya lima ratus!”
“Lho, kok pakai uang kembalian segala?”
“Saya tidak mau nakal, Bang. Semua orang yg mencium kakak juga saya tagih lima ratus!”
“???!!!”

cerpen lucu

Salah Nurunin Resleting
Tumini seorang wanita dewasa pegawai sebuah kantor swasta asing pagi itu mau berangkat kerja dan lagi menunggu bus kota di mulut gang rumahnya. Seperti biasa pakaian yang dikenakan cukup ketat, roknya semi-mini, sehingga bodinya yang seksi semakin kelihatan lekuk likunya.

Bus kota datang, tumini berusaha naik lewat pintu belakang, tapi kakinya kok tidak sampai di tangga bus. Menyadari keketatan roknya, tangan kiri menjulur ke belakang untuk menurunkan sedikit resleting roknya supaya agak longgar.

Tapi, ough, masih juga belum bisa naik. Ia mengulangi untuk menurunkan lagi resleting roknya. Belum bisa naik juga ke tangga bus. Untuk usaha yang ketiga kalinya, belum sampai dia menurunkan lagi resleting roknya, tiba-tiba ada tangan kuat mendorong pantatnya dari belakang sampai Marini terloncat dan masuk ke dalam bus.

Tumini melihat ke belakang ingin tahu siapa yang mendorongnya, ternyata ada pemuda gondrong yang cengar-cengir melihat Tumini.

“Hei, kurang ajar kau. Berani-beraninya nggak sopan pegang-pegang pantat orang!”

Si pemuda menjawab kalem, “Yang nggak sopan itu situ, Mbak. Masak belum kenal aja berani-beraninya nurunin resleting celana gue.”

Jumat, 19 November 2010

cerita rakyat si luncai

Al kisah, maka adalah sebuah negeri bernama Indera Pat, rajanya bernama Maharaja Isin. Maka negeri itu cukup lengkap seperti adapt istiadat negeri yang lain-lain juga, tetapi baginda itu baru sahaja ditabalkan menggantikan paduka ayahanda dan bondanya, kerana baginda itu telah hilang keduanya. Maka isteri baginda itu bernama Tuan Puteri Bongsu, ada berputera seorang, namanya Tuan Puteri Lela Kendi, telah berumur sepuluh tahun.
Arakian, maka adalah dihujung negeri itu seorang anak miskin, yatim piatu, namanya disebut oleh sekalian kanak-kanak dengan gelaran Si Luncai, kerana perutnya besar dan punggungnya tonggek serta pula apabila ia berjalan itu menjemur dada. Ada pun hal kehidupan Si Luncai itu mengambil upah menumbuk dan menjemur padi serta menjual katu api, itulah sahaja kerjanya.
Sekali peristiwa Si Luncai terlalu amat ingin hendak masuk mengadap baginda. Maka ia pun pergilah dengan rupanya yang terlalu buruk itu. Maka tiadalah diterima oleh baginda akan masuk Si Luncai itu, hingga beberapa kali pun demikian juga. Hatta, kepada suatu hari Si Luncai pun bersiaplah memakai pakaiannya yang lain, iaitu berseluar ganjam puth sudah koyak-koyak, dan berbaju hitam buruk menggerebeng seperti sarang petola, serta memakai kain hitam bermancung cobak-cabik, dan bertengkolok batik seperti tali ayam. Setelah sudah memakai itu, Si Luncai pun pergilah mengadap, dan pada masa itu baginda pun hadir sedang bercukur hendak pergi sembahyang Jumaat. Maka Si Luncai pun naiklah kebalai penghadapan di bawah rembat balai itu, lalu ia menyembah pada baginda, seraya ditegur oleh baginda. Katanya Hai Luncai, apa maksudmu datang ini? Maka sembah si luncai, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, tiadalah apa-apa hasrat patik, hanya hendak mengadap kebawah dulu yang maha mulia sahaja.
Telah itu baginda pun diamlah. Maka baginda bercukur itu sudahlah. Apabila dilihat oleh Si Luncai ulu baginda itu bergundul tentang tengkuknya, maka ia pun menangislah dengan teramat sangat, tersenak-senak dan terisak-isak sehingga bercucuran air matanya. Maka titah baginda, Hai Luncai, apa engkau tangiskan ini? Maka sembah Si Luncai, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, tersangatlah besar dukacita bagi kalbu patik tanyakan, dan hendak pun patik sembahkan telah Tuan patik tanyakan, dan hendak pun patik sembahkan menakuti sangat-sangat dihati patik, siapa mengetahui kalau-kalau menjadi kemurkaan kebawah dulu tuanku.
Maka titah baginda, kabarkanlah olehmu tiada aku marah. Maka sembah Si Luncai, ampun tuanku beribu-ribu ampun, ada pun sebabnya patik menangis ini kerana patik lihat ulu Tuanku itu. Ampun-ampun daulatnya barang bertambah-tambah daulat, serupalah betul-betul dengan kepala pachal tua kebawah duli yang telah hilang itu, daripada dogol-dogol dan sulahnya itu sedikit pun tiada bersalahan lagi. Maka itulah sebabnya hiba dan rawan dihati patik. Pada perasaan pati, tambahan pila susuk gaya bayanya pun haruslah sebaya dengan tuanku juga.
Hatta, setelah baginda mendengarkan sembah Si Luncai, maka baginda pun murkalah terlalu amat, merah padam warna mukanya seraya bertitah, hai Luncai, sampailah engkau ini kanak-kanak lagi miskin, patutlah tiada mempunyai akal dan fikiran. Adakah sampai hemat engkau menyamakan sifat aku dengan bapa engkau yang sudah mampus itu? Ceh! Ceh! Tidak kusangka sekali-kali demikian berani engkau. Maka sekarang engkau ini derhaka kepada aku, tentulah engkau kubunuh.
Maka baginda pun memberi isyarat pada hulubalangnya menyuruh tangkap Si Luncai, serta diikat dan dimasukkan kedalam guni. Titah baginda kepada seorang pertanda menyuruh bunuh akan Si Luncai dan campakkan kedalam air dikuala sungai itu. Maka segeralah dikerjakan oleh petanda itu, dibawanya Si Luncai turun kesampan serta berkayuh kehilir.
Maka kata Si Luncai, wahai encik pertanda, mintalah hamba sebiji labu air hendak hamba peloki, seolah-olah ganti ibu hamba, kerana hamba hendak mati ini, bolehlah hamba marifatkan hamba mati bersama-sama dengan ibu hamba. Maka jawab pertanda itu, baiklah. Kerana ia pun belas juga melihatkan orang yang telah tentu mati itu, lalu disuruhnya ambil labu air tempat bekalan mereka didalam perahu itu, yang besar sekali, seraya dikeluarkan dan diuraikan ikatnya lalu diberikan labu itu kepada Si Luncai.
Maka dipeluk oleh Si Luncai, lalu menangislah ia dengan amat sangatnya di tengah-tengah perahu itu. Kemudian lalu ia berkata kepada segala pertanda itu, katanya ya mamak pertanda, hamba melihat tuan hamba berkayuh itu terlalulah kasihan di hati hamba oleh terlampau penatnya. Jika begitu, ada suatu nyanyi supaya boleh membuat pelalai berkayuh itu, kita perbuat beramai-ramai. Maka jawab pertanda itu, apa dia? Luncai, pelalai itu? Maka kata Si Luncai, buatlah demikian. Si luncai terjun dengan labu-labunya, jawabnya biarkan, biarkan. Maka pertanda itu semuanya membuatlah seperti yang diajarkan oleh Si Luncai itu beramai-ramai. Si Luncai terjun dengan labu-labunya! Biarkan, biarkan. Si Luncai terjun dengan labu-labunya. Biarkan, biarkan.
Maka dengan hal yang demikian bernyanyi itu bersahut-sahut, Si Luncai pun terjunlah sungguh kedalam sungai seraya menyelam. Maka pertanda jurumudi itu beberapa kali telah menyatakan, Si Luncai sudag terjun dengan labu-labunya kedalam air, tetapi oleh sabor dengan nyanyinya itu tiadalah siapa yang menghiraukan. Kemudia lalu berkatalah pula jurumudi dengan bengisnya, hai kamu sekalian anak perahu, cubalah lihat kebelakang, Si Luncai sudah terjun.
Maka barulah masing-masing menoleh keburitan perahu. Sesungguhnya campaklah Si Luncai sudah terdiri ditepi tebing sebelah kiri sungai. Wah apatah lagi. Bergopogopohlah masing-masing mengayuh perahu mendapatkan Si Luncai kedarat, lalu ditangkapnya. Telah dapat, dimasukkan kedalam guni itu juga serta diikat, langsung berkayuh pula. Tidak berapa lamanya, dengan kuasa Allah, kedengarlah bunyi suara rusa bertempek di darat bertalu-talu. Maka kata Si Luncai, dari dalam guni itu, Ya Allah, sayangnya rezeki terbuanglah sahaja.
Maka kata pertanda itu, apa engkau kata Luncai? Maka jawab Si Luncai. Tidak ada. Itu bunyi rusa bertempek, sudah mengena agaknya jerat yang hamba tahan disitu dahulu, tetapi apalah daya hendak mengambilnya? Sahajalah binatang itu mati oleh kena jerat, tiada siapa mengambilnya. Maka kata pertanda itu sama sendiri. Mari kita singgah mengambil rusa yang telah kena jerat Si Luncai itu. Telah bersetuju muafakatnya, maka perahu itu pun disinggahkanlah lalu kedarat, sekalian pertanda itu mencari tempat jerat Si Luncai itu merata-rata hutan, dan dimana-mana kedengaran bunyi rusa bertempek, kesitulah dikejar oleh segala pertanda itu dengan tempek soraknya. Demi rusa itu mendengar suara manusia, ia pun makinlah jauh larinya.
Kelakian, tersebutlah perkataan Si Luncai tinggal diperahunya di dalam guni seorang dirinya. Dengan kuasa Allah ta`ala, lalulah seorang India menjual dagangan. Maka dilihat oleh Si Luncai tampak baying-bayangnya kilau-kilau dari dalam guni itu. Maka ia pun berseru-seru dengan nyaring suara, katanya, Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, mohonlah patik, sekali-kali patik ta` mahu kahwin dengan paduka anakanda itu. Remaklah patik mati dibuangkan kedalam air ini.
Hatta, setelah didengar oleh saudagar India itu akan rungut Si Luncai, maka ia pun datang mendekati keperahu itu, seraya bertanya. Katanya, hai orang dalam guni, apa tuang ini macam? Siapa punya kerja ini? Maka sahut Si Luncai dengan tangisnya, Ada pun sebab hamba ini menjadi demikian kerana raja negeri ini hendak mengahwinkan hamba dengan puterinya, hamba tiada mahu. Inilah hendak dibunuhnya.
Setelah didengar oleh saidagar India akan kata Si Luncai itu, ia pun terlalu sukacita hendak kawin itu. Lalu katanya, apa? Kahwinkah? Saya banyak suka! Raja mahukah ganti sama saya kasi kahwin dia punya anak? Maka kata Si Luncai, kalau mamak mahu, raja tentu banyak suka. Sahaya yang miskin lalgi ia mahu, ini pula mamak orang kaya. Jika begitu, marilah bukakan saya, mamak menjadi ganti saya. Maka mamak India itu pun naiklah kedalam perahu lalu mengorakkan tali guni dan tali si Luncai. Setelah Si Luncai keluar mamak itu pun masuklah kedalam guni itu lalu diikat pula oleh Luncai akan tangan mamak dan mulut guni itu. Kemudian diajarnya mamak itu. Katanya, apabila, apabila datang hamba raja itu sekarang, mamak bilanglah kepada dia orang, saya mahu kawin dengan anak raja. Maka kata mamak India itu, baiklah.
Setelah sudah, Si Luncai pun menggalas bungkus kain mamak itu, lalu lari pulang kenegerinya. Arakian, tersebutlah perkataan sekalian pertanda yang pergi mencari bekas jerat Si Luncai itu. Telah tiada bertemu masing-masing oun pulanglah keperahu. Maka didengar oleh mereka itu Si Luncai berkata. Saya mau kawin sama raja punya anak, saya mau kawin sama raja punya anak. Berpuluh-puluh kali demikian juga katanya. Maka mereka sekalian pun heran seraya berkata, kena apa Si Luncai ini bermacam-macam pula lakunya? Ini doperbuatnya seperti suara orang India , dan katanya ia hendak kahwin dengan anak raja. Siapalah yang mahukan dia itu agaknya? Hai, hai Luncai, tadi sudah terjun dengan labu-labunya. Sekarang pun engkau hendak menipu kamikah juga? Walau macam mana sekali pun tidakkan kami lepaskan lagi. Matilah engkau sekali ini.
Maka kata mamak India itu, saya bukan Luncailah, saya orang India jual barang-barang kain baju. Luncai sudah pergilah, sekarang sayalah mahu kahwin sama raja punya anak. Maka kata pertanda itu, ya baiklah, Luncai . walau engkau jadi India sekali pun engkau mati juga. Lagi pun sekarang engkau sudah menjadi gila. Adakah patut layak macam engkau hendak kahwin dengan anak raja? Ceh, ceh tak malu.
Demi didengar oleh mamak India itu akan perkataan pertanda yang demikan, ia pun makinlah menangis tetapi tiadalah barangsiapa yang peduli akan dia, masing-masing berkayuh juga. Telah sampailah kekuala lalu dicampakkanlah guni India itu langsung tenggelam dan matilah ia. Maka pertanda itu pun kembalilah persembahkan segala hal ehwal itu kepada baginda. Maka baginda pun terlalu sukacitanya.
Sebermula, maka tersebutlah perkataan Si Luncai berjalan itu. Hari pun sudah malam, ia pun sampailah kerumahnya lalu tidur dan tiadalah ia berjalan dalam tujuh hari lamanya, kerana ia mencari akal tipu daya hendak membinasakan raja itu. Maka pada suatu hari Si Luncai pun memakailah segala serban jubah saudagar India yang ditipunya itu, serta sebuah tasbih panjangnya sedepa dan sebatang tongkat pula dibawanya. Maka ia pun berjalanlah dekat-dekat dengan balairung seri baginda itu. Dan kepada ketika itu baginda pun sedang dihadap oleh orang terlalu banyak, penuh sesak balai penghadapan itu. Maka baginda pun terpandanglah akan Si Luncai memakai pakaian cara haji itu. Maka diamat-amati oleh baginda, sahlah rupa Si Luncai.
Maka titah baginda, hai sekalian orang besar-besar, siapa itu? Beta lihat seakan-akan rupa Si Luncai. Maka sembah mereka itu sekalian, sebenarnyalah seperti titah dulu itu. Pada penglihatan patik-patik sekalian pun demikian juga. Maka titah baginda, cuba juga panggil Tuan Haji itu, bertanya dari mana datangnya. Maka menteri pun berserulah dengan nyaring suaranya, katanya wahai tuan hamba Tuan Haji mari juga singgah, titah di panggil. Hatta telah didengar oleh Si Luncai, maka ia pun singgahlah mengadap baginda serta memberi salam, katanya, Assalamu`alaikum, ya khalifatul mu`minin. Maka disahut oleh baginda, Wa`alaikumussalam, hai muslim, siapa engkau ini?
Maka sembah Si Luncai, ampun tuanku beribu-ribu ampun, barang bertambah-tambah daulat shah alam, bahawa patik inilah malaikat Si Luncai yang telah Tuanku bunuh dahulu. Ada pun patik ini sekarang sudah menjadi orang negeri akhirat, bukannya patik orang didalam dunia ini lagi. Setelah didengar oleh baginda dan segala orang besar-besar itu, masing-masing pun, sebenarnyakah sungguh engkau ini malaikat Si Luncai yang mati. Dan lihatlah oleh Tuanku rupa dan pakaian patik ini semuanya sudah berubah diberi oleh malaikat orang tua patik, kerana orang tua patik kedua-duanya dikurniai Allah ta`ala tempat kesenangan di negeri akhirat.
Maka titah baginda, jika demikian, adakah engkau mendengar kabar ayahanda dan bondaku yang telah mangat itu? Maka sembah Si Luncai, bukannya mendengar lagi tuanku, patik sendiri dibawa oleh malaikat orang tua patik itu mengadap ayahanda dan bonda itu. Patik lihat istana dan mahligai paduka ayahanda itu terlalu indahnya daripada tempat semayam tuanku ini.
Maka titah baginda, adakah ayahanda bonda bertanyakan aku in? maka sembah Si Luncai, adalah sangat, tuanku. Patik ceritakanlah kepada baginda itu dari awal hingga akhirnya serta pasal kematian patik itu. Maka demi didengarnya sebab kematian patik tuanku bunuh itu, wah baginda laki isteri pun terlalu murka akan tuanku. Titahnya, tiada patut sekali-kali diperbuat oleh anakku itu, sebab kesalahan engkau yang begitusedikit disurunya bunuh. Kemudian lalu disuruhnya hantarkan patik pada malaikat orang tua patik balik kedalam dunia in, kerana ajal patik belum sampai lagi katanya. Dan lagi titah paduka ayahanda bonda itu kepada patik minta persilakan tuanku pula berangkat bemain-main melihat negeri akhirat, kerana terlalu rindu paduka ayahanda dan bonda itu akan tuanku, dan jika tuanku berangkat kesana, pada fikiran patik telah tetaplah yang tuanku tiada sekali-kali berniat hendak balik kedunia ini oleh tersangat indah-indahnya negeri akhirat itu. Ada pun patik ini tiada berdaya lagi oleh terlampau digagahi paduka ayahanda kedua menyuruh sampaikan pesannya kebawah duli tuanku.
Dari sebab itulah patik balik juga persembahkan titah paduka ayahanda itu, takut kalau-kalau menjadi keberatan pula keatas patik kemudian hari. Akan tetapi jika sekiranya tuanku hendak melihat apa-apa hal paduka ayahanda dan bonda itu, bolehlah juga tuanku kita lihat dari atas dunia ini. Perbuatlah suatu bangun-bangunan yang tinggi boleh patik ajarkan. Ada suatu doa diamalkan, nescaya tampaklah apa-apa hal paduka ayahanda bonda itu dengan kemudahannya.
Tetapi jikalau barangsiapa tiada tampak, harapkan diampuni kebawah duli, alamat besarlah padahnya mereka itu, iaitu telah terjunamlah mereka bukannya daripada anak halal. Maka doa itu pun patik dapat dengan berkat pengajaran paduka ayahanda juga mengajar patik. Maka ada pun hal patik apabila patik rindua akan orang tua patik, maka patik bacakankanlah doa itu, nescaya tampaklah apa-apa halnya didalam kubur, serta sekalian isi negeri akhirat itu.
Hatta, setelah didengar oleh baginda serta sekalian yang mengadap itu masing-masing pun menerimalah pada akalnya serta dengan percayanya. Maka sabda baginda, hai malaikat Si Luncai, aku bertempohlah tujuh hari hendak membuat bangunan itu. Maka sembah Si Luncai, tuanku, daulat beribu-ribu daulat, seperti titah itu patik junjunglah. Maka Si Luncai pun menyembah baginda, mohon ampun pulang kerumah berdiam dirinya.
Arakian, maka baginda pun menitahkan perdana menteri perbuat bangun-bangunan itu dengan segeranya. Maka dikerjakan oranglah seperti titah baginda itu. Selang tiada berapa lamanya bangun-bangunan itu pun siaplah sekaliannya. Maka perjanjian Si Luncai pun genaplah. Ia pun lalu datang mengadap baginda. Telag itu baginda pun berangkatlah diiringkan oleh segala orang besar-besar dan menteri, hulubalang, rakyat sekalian serta dengan Si Luncai naik keatas bangun-bangunan itu.
Telah duduklah sekaliannya maka Si Luncai pun mengajarlah akan baginda serta dengan orang-orang besar akan doa pertunjukkan itu. Maka sembah Si Luncai, ampun tuanku beribu-ribu ampun, apabila sudah tuanku sekalian baca doa ini, jikalau tiada nampak akan paduka ayahanda bonda sekalian isi negeri akhirat, bahawa pada masa itu telah tentulah tuanku sekalian haram zadah.
Demikianlah sekali padahnya berkat titah ayahanda kedua-duanya juga mengajar akan patik doa ini. Maka titah baginda, mana-mana takdir daripada Allah, aku menerima syukur sahaja. Setelah baginda menerima pengajaran daripada Si Luncai maka sembah Si Luncai, persilakanlah tuanku ayahanda bonda itu.
Maka baginda serta dengan sekalian mereka yang belajar itu pun mendongak kelangit. Maka Si Luncai pun pura-puralah memandang sama-sama kelangit. Hatta sembah Si Luncai apa kabar tuanku? Adakah tampak ayahanda kedua-dua duduk diatas takhta kerajaan dengan aman sentosanya dihadapi oleh sekalian anak bidadari? Cubalah tuanku nyatakan kepada patik dengan sebenarnya.
Maka demi baginda mendengarkan sembah Si Luncai, termenunglah baginda sejurus panjang sambil berfikir didalam hatinya, hendak aku katakana tampak, tiada suatu apa pun yang ada, hanya awan saja yang aku lihat, tetapi kalau aku katakana tiada nampak, tetaplah aku dikatakan oleh si Luncai ini anak haram. Jika begitu, biarlah aku berdusta, asalkan jangan terkena nista oleh Si Luncai.
Maka baginda pun mengakulah mengatakan nampaklah sekalian hak ehwal. Sesudah titah baginda demikian itu maka masing-masing pun menurutlah seperti titah itu, semuanya mengatakan nampak belaka. Telah itu, maka sembah Si Luncai, sekiranya jika tiada puas lagi rasanya dikalbu tuanku, persilakanlah esok harinya patik bawa mengadap ayaganda bonda itu supaya lenyap rindu dendam tuanku yang selama ini akan dia dan boleh pula tuanku melihat sekalian perkara yang terlebih ajaib-ajaib serta indah-indah pula daripada yang tuanku lihat tadi. Maka titah baginda, baiklah esok bawalah aku pergi sendiri kepada ayahanda bondaku. Maka sekalian orang besar-besar itu pun berkehendak juga pergi masing-masing. Maka ujar Si Luncai kepada mereka itu, biarlah tuanku sahaja pergi dahulu, diperhamba bawa. Kemudian setelah diperhamba balik kedunia ini dengan baginda, barulah dato sekalian diperhamba bawa kesana.
Arakian, setelah sudah berkata-kata itu, maka baginda pun berangkat turun dari atas bangun-bangunan itu serta diiringikan oleh segala orang besar-besar dan Si Luncai kembali ke balai penghadapan, seraya baginda bertitah kepada Si Luncai, pagi-pagi besok pergilah kita Luncai dengan segeranya.
Maka sembah Si Luncai, silakan tuanku, tetapi hendaklah tuanku titahkan perbuat suatu mongkor kaca, serta perbuati berkisi-kisi luarnya, kemudian diberi bertali dan muatkanlah sekalian perkakasan tuanku serta berkelana sekali. Maka titah baginda, baiklah Luncai. Maka baginda pun segeralah menitahkan beberapa orang pandai dan utas perbuati mongkar seperti yang dikatakan oleh Si Luncai itu, hendak sudah pada malam itu juga dengan tiada boleh tidak. Maka dikerjakanlah oleh segala tukang itu pada malam itu juga. Telah baginda bertitah demikian, baginda pun berangkat masuk keistana mendapatkan adinda dan anakanda baginda, dan Si Luncai dengan segala orang besar-besar itu tidurlah dibalai, tiada kembali lagi.
Hatta, telah datang keesokan hari, baginda pun bangun bersiram ketiga puteranya. Sudah selesai lalu santap nasi dan peganan juadah. Setelah sudah, maka baginda pun bermohon kepada adinda baginda dan memeluk mencium puterinya itu, lalu berangkat kebalai penghadapan. Didapati baginda sekalian orang besar-besar dan menteri, hulubalang, rakyat semuanya telah hadir, dan mongkar itu pun sudah musta`id sekaliannya.
Maka baginda pun memandang kepada Si Luncai seraya bertitah, apa lagi kita Luncai? Maka sembah Si Luncai, silakanlah, Tuanku. Maka baginda pun berangkatlah diiringkan oleh segala menteri, hulubalang dan rakyat sekalian, dibawa oleh Si Luncai kepintu lubang suatu gua yang terlalu dalam, melainkan Allah jugalah yang mengetahuinya. Seketika berjalan sampailah ketempat itu. Maka Si Luncai pun mendatangkan sembah. Katanya ampun tuanku beribu-ribu ampun, bahawa inilah jalan patik keluar kedunia dahulu.
Maka titah baginda, jikalau begitu, turunlah kita segera, biar orang besar-besar tinggal menanti kita disini. Maka sembah Si Luncai, silakanlah tuanku masuk kedalam mongkor kaca ini dan biarlah patik duduk pada kisi-kisi diluar mongkor, kerana patik hendak membawa jalan keakhirat, iaitu sesudah dihilurkan oleh mereka ini sekalian kebawah.
Telah itu baginda pun masuklah dan Si Luncai berdiri diluar mongkor itu. Setelah musta`id, lalu dihulurkanlah sekalian menteri, hulubalang dan orang besar-besar akan baginda dengan Si Luncai kedalam lubang itu. Maka pada waktu hendak turun mongkor itu, Si Luncai pun bersedia sahajalah hendak berlepas dirinya. Dengan takdir Allah ta`ala, adalah pula suatu lubang yang lain, boleh naik kedunia balik. Apabila terpandang sahaja olehnya, makaa ia pun melompatlah keatas suatu batu ditepi lubang itu dengan pantasnya. Maka baginda tiadalah sempat hendak keluar lagi, oleh meraka yang diatas lubang itu dengan pantasnya. Maka baginda tiadalah sempat hendak keluar lagi, oleh tali mongkor itu terlalulah amat deras dihulurkan oleh mereka yang diatas lubang itu. Maka dilihat baginda makin lama makin gelap gulitalah, sehingga lemaslah baginda tak boleh bernafas lagi.
Maka dengan kudrat dan iradat allah ta`ala, mongkor itu pun terjatuh betul kedalam mulut seekor naga yang terlalu besarnya. Maka demi dirasanya sahaja, apatah lagi, langsung ditelannyalah. Maka baginda pun mangkatlah. Kelakian, tersebutlah perkataan Si Luncai. Telah dilihatnya baginda itu tiada dapat keluar dari dalam mongkor itu, dan langsung terus kebawah sahaja serta telah ghaiblah, maka ia pun berserulah dengan nyaring suaranya, katanya, hai sekalian menteri dan orang besar-besar serta hulubalangku, putuslah tali ini., kerana aku telah bertemu dengan ayahanda bonda, dan tiadalah diberinya aku berbalik lagi kedunia. Si Luncai sahaja aku titahkan balik akan ganti aku menjadi raja dinegeri, serta kahwinkan dia dengan puteriku Tuan Puteri Lela Kendi itu.
Setelah didengar oleh mereka itu masing-masing pun pulanglah keistana baginda, persembahkan seperti titah baginda itu kepada Puteri Bongsu dan anakanda baginda. Aduhai. Demi terdengar sahaja kepada Tuan Puteri keduanya perkabaran dan titah baginda demikian itu, hancur luhur, remuk rendamlah hati Tuan Puteri kedua, lalu menangis menghempaskan dirinya serta pula dengan segala dayang-dayang dan inang pengasuh, bagaikan bunyi orang beramuk didalam istana itu. Maka Tuan Puteri kedua pun lalu pengsan tiada sedarkan dirinya lalu, disirami oleh dayang-dayang sekalian dengan air mawar. Telah Tuan Puteri sedar daripada pengsannya itu, maka ia pun bertitah menyuruh berbuat kenduri akan baginda itu. Demikianlah perkabungan Tuan Puteri keduanya.
Shahdan maka tersebutlah perkataan Si Luncai. Telah tujuh hari tujuh malam ia didalam gua itu, dengan beberapa sengsaranya hendak mencari jalan keluar, dengan takdir Allah ta`ala, diikutnya juga pada jalan yang bercahayanya terang itu. Maka dapatlah selamat sempurnanya.
Hatta, pada keesokan harinya Si Luncai pun pura-pura berjalan kebalai penghadapan baginda. Telah dilihat oleh menteri, huluibalang dan orang besar-besar sekalian akan Si Luncai, masing-masing memberi hormat dan memimpin tangannya, dibawa naik keatas balai, didudukan dikerusi kerajaan baginda dan sekalian wazir, orang besar-besar pun duduklah dibawah mengadapnya.
Maka perdana menteri pun berserulah dengan nyaring suara, katanya ayuhai sekalian encik-encik dan taun-tuan, besar kecil, tua muda, laki-laki perempuan, hina mulia, ya`ni seisi negeri ini. Bahawa sekarang dengan titah Yang DiPertuan yang telah berangkat kenegeri akhirat itu, pada masa ini encik Luncai dengan anakanda baginda Tuan Puteri Lela Kendi itu.
Demi didengar oleh yang oleh yang hadir itu, maka terlalulah ta`jub mereka itu masing-masing, tetapi berdiam diri sahajalah, tiada berkata-kata. Maka Si Luncai bedebah itu pun berbuat pura-pura terkejut seraya mengucap, Astaghfiru`llah, apa sebabnya dato berkata demikian? Hamba taj` rela sekali-kali, kerana hamba tiada besarkan kebesaran dunia ini lagi, oleh hamba telah menjadi orang negeri akhirat sana .
Maka kata Perdana Menteri. Hamba tiada berani melalui titah baginda itu. Telah itu Si Luncai pun diamlah. Maka sabda Perdana Menteri, sekarang juga hendak beta kahwinkan raja dengan Tuan Puteri itu. Maka kadi pun tampillah menikahkan Si Luncai dengan Tuan Puteri Lela Kendi itu, tiada bekerja, hanya mengambil selamat sahaja.
Hatta, setelah sampai waktunya, maka Si Luncai pun masuklah keperaduan dengan Tuan Puteri. Maka Tuan Puteri Lela Kendi pun menangis oleh terlalu meluat ia melihat rupa Si Luncai itu. Beberapa pun dipujuk oleh inang pengasuhnya tiada ia mahu beradu oleh terkenangkan ayahandanya itu. Maka hari pun hampirlah dinihari. Si Luncai pun terlelaplah lalu tidur.
Maka fikir hati Tuan Puteri, sebab Si Luncai bedebah celaka ini, maka aku bercerai dengan bapaku. Jika begitu, baiklah aku bunuh akan dia. Maka Tuan Puteri mengambil sebilah keris ayahnya lalu menikam kerongkong Si Luncai. Maka ia pun mengeruhlah lalu mati. Maka Tuan Puteri pun larilah keluar mendapatkan bondanya berkabarkan hal ehwal itu. Maka Tuan Puteri Bongsu pun sangatlah ketakutan serta memanggil Perdana Menteri. Ia pun masuk kedalam istana. Sabdanya, apakah sebabnya tuan hamba bunuh akan suami tuan hamba ini?
Maka titah Tuan Puteri Lela Kendi, bahawasanya dari sebab Si Luncai celaka itulah beta bercerai dengan paduka ayahanda beta, entahkan ayahanda itu dibunuhnya, dikatakan pergi kenegeri akhirat. Yang beta sekali-kali tiada percaya akan kata Si Luncai itu. Jika sekiranya ia hidup lagi, tentulah mamak pun dibunuhnya juga, jangan syak lagi.
Setelah Perdana Menteri dan Permaisuri mendengarkan sabda anakanda itu terlalu sebal dan sesal keduanya akan segala perkara yang telah lalu itu, semuanya sudah terkena tipu oleh si Luncai. Masing-masing pun menangislah terkenangkan baginda, kerana kebodohan ia sekalian menurutkan kata Si Luncai bedebah itu. Maka mayat Si Luncai pun disuruh tanamkan dengan sepertinya.
Maka bermesyuaratlah sekalian menurutkan sekalian orang besar-besar menabalkan Tuan Puteri Lela Kendi ganti ayahandanya memerintahkan negeri, dipandu oleh memakanda Perdana Menteri menjalankan hukuman seperti istiadat yang dijalankan oleh ayahanda baginda dahulu dengan adilnya. Maka tersangatlah sukacita Tuan Puteri Bongsu oleh puterinya menjadi maharani itu. Maka keduanya pun berbuat amal ibadat akan Allah ta`ala pada setiap waktu serta tiadalah mahu keduanya bersuami lagi. Demikianlah diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini.

cerita pak belalang

Al kisah, maka adalah suatu cerita, kononnya sebuah negeri nama Halban Cundung. Nama rajanya Indera Maya, cukup dengan hulubalang menterinya. Maka adalah dipeminggiran negeri raja itu seorang peladang tiga beranak, anaknya laki-laki dinamakannya Belalang, menjadi orang-orang semuanya memanggil orang tua peladang itu Pak Belalang. Maka pada suatu tahun semua orang tiada dapat padi berladang, oleh sangat kemarau. Maka yang hal sepeladang tiga beranak itu sangatlah kesusahan hendak mencari makanan, tiadalah dapat daya dan upaya lagi, melainkan dengan makanan kutip katap sahaja, ya ni terkadang makan ubi, tebu, pisang, keladi dan sebagainya.
Hatta, antara beberapa lamanya didalam hal yang demikian itu, sampailah pula musim piama. Maka orang bekerja bendang pun masing-masing turun kebendangnya membuat pekerjaan, ada yang mencuci parit, membaiki batas-batas mana-mana yang patut dan rusuk, dan ada yang menengala dengan kerbau, ya ni tanah didalam petak bendang itu supaya menjadi lembut semuanya, boleh senang menanam padi, lagi pula menyuburkan pokok padi sampai kepada buahnya. Maka ada pula yang memagar dan berbuat berbagai-bagai ikhtiar supaya terpelihara daripada mara bahaya musuhnya seperti tikus, ulat dan babi. Maka didalam hal yang demikian itu semua orang membuat pekerjaan, melainkan Pak Belalang tiga beranak asyik dengan tidur siang malam dirumahnya dengan berdukacita yang teramat sangat akan kehidupannya yang akan boleh makan.
Maka pada suatu hari Pak Belalang berkata kepada anaknya nama Si Belalang itu, wahai anakku, apalah sudah untung kita demikian ini. Tiadalah dapat apa-apa yang dijadikan makanan kita anak beranak. Maka jawab anaknya, apakah fikiran aki? Maka kata Pak Belalang, pada fikiranku pergilah anakku sembunyikan kerbau orang yang menenggala dibendang itu barang dua ekor, taruh didalam semak-semak itu. Jikalau orang itu gempar kehilangan kerbaunya, katakana aku tahu bertenung menentukan dimana-mana tempat kerbau itu.
Sebermula, telah sudah bermesyuarat kedua beranaknya, pada waktu matahari rembang orang-orang bendang itu kelelahanlah penat. Masing-masing pun berhentilah naik kedangaunya makan minum dan setengah tidur. Maka kerbau-kerbau mereka itu ditambatkan ditepi batas yang disebelah naung, makan rumput dan setengah dilepaskan dengan tali-talinya berkubang.
Arakian, Si Belalang pun, lepas bermesyuarat dengan bapanya itu, lalulah ketempat kerbau yang teramat itu dengan seorang dirinya terhendap-hendap mengintau tuan kerbau itu. Telah sampai lalu dipegangnya tali kerbau, diambilnya dua ekor, ditambatkannya kepada pohon kayu besar kira-kira sebatu jauhnya daripada tempat itu. Maka ia pun pulang kepada bapanya, habis dikabarkannya hal ehwalnya. Maka sangatlah sukacita bapanya mendengarkan perkataan anaknya oleh mengikut seperti pengajarannya.
Hatta, tersebut perkataan orang-orang bendang itu. Apabila telah beralih hari, masing-masing pun turunlah kebendangnya sambil hendak mengambil kerbau. Maka dilihat dua ekor kerbaunya sudah hilang. Jenuh mencari tiada jump, sambil berkata, siapakah gerangan agaknya tahu bertenung ini? Kita hendak tenungkan kerbau yang hilang ini. Maka pada ketika itu Si Belalang sedang bermain dekat-dekat meraka itu. Maka katanya, bapaku tahu juga sedikit-sedikit bertenung.
Jawabnya tahu juga. Maka kata orang bendang itu, marilah kita sekalian pergi kepada Pak Belalang minta ditenungkan. Jawab kawannya, moh la. Lalu pergilah orang-orang bendang itu kepada Pak Belalang. Maka pada ketika itu Pak Belalang pun ada dirumah sedang memegang gobek. Lalu ditegurnya akan mereka itu seraya katanya, apakah hajat anakku sekalian ini? Jawab orang-orang itu, kita ini mendapatkan Pak Belalang minta tenungkan kerbau kita hilang, jenuh mencarinya.
Maka kata Pak Belalang pun mengambil kertas yang buruk, ditulisnya bagai bekas cakar ayam sahaja, dengan tawakal diperbuatnya serta membilang-bilang jarinya dan memejam-mejamkan matanya. Katanya, ayuhi anakku, kerbau itu dua yang hilang ada disebelah matahari mati, ditambatkan orang dipohon kayu besar. Pada petuanya jikalau lambat dituruti nescayalah ia mati.
Demi orang-orang itu mendengarkan perkataan Pak Belalang, sangatlah sukacita hatinya. Lalulah pergi setenganya mencari dan yang setengah balik pulang. Kemudian antara beberapa lamanya mereka itu pun sampailah ketempat yang ditambatkan oleh Si Belalang itu. Maka kerbau dua ekor itu hampir akan mati kerana tersangat dahaga, lalu diambilnya, dibawa pulang kerumahnya akan Pak Belalang tahu tenung. Maka singgahlah mereka itu dirumah Pak Belalang, serta membawa beberapa banyak hadiah daripada beras, padi, tembakau, gambir, ikan dan lain-lainnya adalah berharga kadar lima puluh derham. Maka sangatlah kesukaan hati Pak Belalang menerima hadiah mereka itu, dengan beberapa kesenangan ia makan anak-beranak.
Kelakian, tersebutlah Raja Indera Maya didalam negeri itu. Pada suatu malam kecurianlah baginda tujuh biji peti yang berisi emas, intan, derham dan lain-lain mata benda yang mahal-mahal harganya. Maka dititahkan oleh baginda memukul canang segenap pekan didalam negeri itu, titahnya, siapa-siapa tahu bertenung raja memanggil kedalam, hendak minta tenungkan harta yang hilang kecurian tujuh buji peti semalam. Maka didengar oleh bendang yang hilang kerbau itu. Katanya, yang kita tahu, orang yang pandai bertenung, boleh dapat dengan segeranya.
Maka kata tukang canang itu, dimanakah rumahnya? Jawab orang bendang itu, itulah rumahnya. Maka pergilah tukang canang itu. Didapati Pak Belalang ada hadir dirumahnya. Lalu mereka bertanya, ayuhai Pak Belalang, iakah sungguhh tahu bertenung? Maka jawabnya, tahu juga sedikit. Maka kata tukang canang, marilah mengadap baginda, kerana baginda kecurian tujuh biji peti semalam.
Maka jawab Pak Belalang, baiklah. Maka ia pun pergilah mengadap baginda bersama-sama dengan tukang canang. Apabila sampai kedalam lalu ditegur oleh baginda seraya bertitah, hai Pak Belalang, tahukah engkau bertenung? Maka sembah Pak Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, tahu juga sedikit kerana patik ditinggalkan hamba tua dahulu empat peti kitab tiba dirumah patik dari hal kisah pencuri barang-barang yang hilang.
Maka titah baginda, jikalau baginda beta beri tempoh didalam tujuh hari ini, beta minta tenungkan harta beta yang hilang itu. Jika tiada dapat engkau tenungkan harta itu, nescaya beta bunuh kerana membuat bohong mengatakan ada empat biji peti tib ilmu nujum. Maka sembah Pak Belalang, Daulat Tuanku titah patik junjung. Insyaallah ta`ala, berkat dengan tinggi daulat, bolehlah patik tenungkan, Tuanku.
Maka Pak Belalang pun bermohon balik, dikurniakan oleh baginda seratus derham akan belanjanya. Hatta, apabila sampai kepekan, maka dibelinya beras, ikan, minyak dan tepung, dibawa balik kerumahnya, diberikan kepada isterinya. Maka tanya isterinya, dimana Pak Belalang dapat barang banyak-banyak ini? Curikah? Jawabnya, tiada aku curi, raja memberi kepada aku, disuruhnya bertenung hartanya hilanh tujuh biji peti semalam konon. Maka tepung ini perbuatlah roti. Aku teragak hendak makan roti rasanya.
Maka diambil oleh perempuannya barang-barang itu diperbuat roti. Seketika nanti hari pun malam. Lepas makan nasi tiga beranak itu, Pak Belalang pun berbaring ditengah rumahnya oleh sebab letih berjalan tadi. Maka isterinya pun masaklah roti itu didapurnya, direndangnya sebiji-biji, maka berbunyilah roti itu kena minyak didalam kuali, chur bunyinya. Maka oleh Pak Belalang dibilangnya dari tengah rumah itu, katanya, satu membilang roti itu.
Maka dengan takdir Allah, berkat ia bertawakal membuat pembohong itu, tatkala ia membilang roti itu maka kepala pencuri yang mengambil harta baginda itu ada orang terdiri dihalam Pak Belalang, barulah ia keluar dari hutan, kerana jalannya pergi datang itu dekat dengan rumah Pak Belalang. Kemudian chur bunyinya sekeping roti lagi, dibilangnya, dua. Maka pencuri itu pun sudah dua berdiri dihalamannya. Kemudian tiga, maka pencuri itu pun sudah tiga orang disitu. Kemudian tujuh keping roti dibilang oleh Pak Belalang, bersetuju dengan pencuri itu telah ada disitu ketujuh-tujuhnya.
Maka kata kepala pencuri itu, Hai kawan-kawan sekalian, ada pun kita ni sudah diketahui oleh orang tua Pak Belalang akan kita ada disini. Pada fikiranku, tentulah ia tahu kita tujuh orang ini yang mengambil harta raja itu dan sekarang baiklah kita pergi berjumpa dengan dia berkabarkan kesalahan kita yang mengambil harta raja itu. Jawab yang berenam itu lagi, baiklah mari kita pergi kabarkan supaya lepas nyawa kita mati dibunuh raja itu. Maka pencuri ketujuh itu pun pergilah mengetuk pintu Pak Belalang. Maka kata Pak Belalang siapa itu?
Jawabnya, kita hendak berjumpa dengan Pak Belalang. Maka dibuka oleh Pak Belalang pintunya lalu naiklah pencuri ketujuh-tujuh orang itu seraya duduk berjabat tangan dengan Pak Belalang. Maka kata Pak Belalang, dari mana datang dan apakah hajat? Maka jawab pencuri, kami datang ini minta nyawa kepada Pak Belalang. Jangan kamu sekalian dibunuh, kerana kamilah semua yang mengambil peti raja negeri ini, yang hilang tujuh biji itu. Oleh sebab jikalau tiada kita berkabarkan benar pun, Pak Belalang sudah tahu, kerana Pak Belalang di rumah, kami di tanah lagi belum nampak sudah Pak Belalang bilang.
Sebermula telah didengar oleh Pak Belalang akan perkataan pencuri ketujuh itu sangatlah sukacitanya sambil berdaham. Katanya, dengan sesungguhnya aku tahu. Masa anakku di tanah tadi aku bilang di rumah ini satu hingga ketujuh. Benar atau tidak bilangan aku itu? Maka jawab pencuri itu dengan ketakutan, benar. Itulah sebabnya kami sekalian takut akan Pak Belalang berkabar kepada raja, matilah kami sekalian di bunuh oleh raja itu.
Maka kata Pak Belalang, jikalau sungguh anakku sekalian berkata benar, tidaklah dibunuh oleh raja. Dimanakah harta raja itu sekarang? Jawab pencuri itu, adalah kami sekalian tanamkan disebelah selatan didalam hutan, lebih kurang ada sebatu dari sini. Kami sekalian tanamkan didalam tanah tiada apa-apa rusak, bolehlah Pak Belalang ambil harta raja itu balik. Maka kata Pak Belalang, baiklah, tetapi jangan membuat bohong. Tentu aku suruh bunuh kepada raja.
Maka bersumpahlah pencuri itu mengatakan tidak bohong sekali-kali. Kemudian roti yang dimasak oleh isteri Pak Belalang itu pun dijamukannyalah kepada pencuri-pencuri itu. Lepas makan mereka itu pun turunlah berjalan. Hatta, telah siang hari, Pak Belalang pun pergilah mengadap Raja Indera Maya seraya baginda bertitah, apa kabar, Pak belalang? Adakah dapat ditenungkan di dalam tib darihal itu?
Maka sembah Pak Belalang, insyaallah ta`ala, dengan berkat tinggi daulat dapatlah dalam tib-tib patik itu, Tuanku. Patik peroleh satu buku, didalamnya ada tersebut bahawasanya ada pun hartanya yang hilang tujuh orang, dibawahnya kesebelah selatan, sudah ditanamkannya didalam tanah, tetapi tiada rosak barang-barang itu lagi.
Setelah menitahkan dua orang menteri dengan seratus hulubalang dan lima ratus rakyat mencari peti baginda itu dengan segeranya, maka masing-masing menyembah lalu berjala. Maka baginda pun tinggallah dengan Pak Belalang di balairong seri dihadapi oleh bentara biduanda sida-sida sekalian.
Maka tersebutlah kisah menteri dengan hulubalang, rakyat pergi mencari harta itu. Selang beberapa lamanya sampailah kedalam hutan besar, ditujunya kesebelah selatan. Dengan takdir Allah subhanahu wata`ala betullah sampai mereka kepada tempat peti yang ditanamkan oleh pencuri itu, berjumpa dengan suatu lubang bekas ditimbus orang. Maka diambil oleh menteri anak-anak kayu suruh tikam kedalam tanah, lalu kenalah kepada peti itu, serta diangkat naik, dipikul oleh rakyat sekalian, dibawa balik mengadap baginda.
Maka baginda pun turunlah dari atas singgahsana sambil berkata, betullah sungguh Pak Belalang ini, besar untungnya dan kebaktiannya kepada aku. Baginda bertitah itu dengan teramat sukacitanya, seraya memandang kepada muka Pak Belalang. Titahnya pula, ada pun Pak Belalang ini telah beta gelar Ahlunnujum pada hari ini, dan barangsiapa memanggil Pak Belalang, beta guntingkan lidahnya.
Maka sekalian rakyat, menteri hulubalang pun mengatakan Ahlunnujum sekaliannya. Maka titah baginda, Hai ahlunnujum, beta anugerahi sebiji peti ini akan dikau, bawalah pulang kerumah, berikan kepada anak isteri engkau. Maka sembah Ahlunnujum Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, patik mohonkan ampunlah dikurniakan harta itu, kerana ayapan yang kurniai oleh dulu Tuanku dahulu itu pun cukup patik ayapi anak beranak.
Maka titah baginda menyuruh juga hantarkan sebiji peti yang berisi emas, intan, ratna mutu manikam, kerumah ahlunnujum Belalang itu. Maka ahlunnujum pun bermohon kembali pulang kerumahnya dengan sukacita sekalian anak isterinya. Hatta, antara selang tiga bulan, masuklah pula tiga buah kapal membawa anak itik baru jadi, meminta kenalkan jantan betinanya. Maka kapal itu pun sampailah kepelabuhan. Juragannya naik kedarat mengadap Raja Indera Maya. Maka ada pun tatkala itu baginda sedang dihadapi oleh menteri, hulubalang, sida-sida, biduanda sekaliannya.
Maka juragan itu pun naiklah kebalai pengahadapan masuk mengadap dibawa oleh bahtera baginda. Serta baginda memandang, juragan pun bertelut kepada baginda. Sembahnya, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, patik ini datang dari sebuah negeri kesebuah negeri membawa anak itik baru menetas, meminta kenalkan jantan dan betinanya patik persembahkan kebawah duli Tuanku kapal patik tiga buah itu dengan isinya, patik turun kain sehelai sepinggang sahaja. Tetapi jika Tuanku terkenal anak itik itu jantan betinanya, harapkan diampun beribu-ribu ampun, negeri Tuanku ini patik pohonkan supaya menjadi milik patik.
Maka sahut baginda, baiklah encik Juragan, beta minta tempoh tiga hari dahulu. Kepada hari yang ketiga itu pagi-pagi bolehlah datang bawakan anak-anak itik itu, boleh beta kenalkan jantan betinanya. Maka juragan itu pun bermohon balik kekapalnya. Maka baginda pun menitaahkan seorang biduanda panggil ahlunnujum belalang. Maka biduanda pergi kepada Ahlun nujum Belalang. Tatkala itu Ahlun nujum Belalang ada dirumahnya sedang merojak sireh hendak dimakannya. Maka biduanda pun naik. Katanya, Hai Ahlun nujum , titah memanggil bersama-sama sahaya mengadap dengan segeranya.
Jawab biduanda ada kapal masuk membawa anak itik baru menetas, minta kenalkan jantan betinanya. Itulah sebab Tuanku memanggil. Maka sahut Ahlun nujum Belalang, Baiklah, lalu ia mengambil tongkat berjalan bersama-sama dengan biduanda mengadap baginda kebalairong seri. Demi terpandang kepada Ahlun nujum, maka baginda pun bertitah, marilah kesini dekat dengan beta ini, hendak bermesyuarat.
Maka Pak Belalang pun datanglah hampir dengan baginda seraya meyembah. Maka titah baginda, apalah hal beta ini ahlun nujum? Ada pula masuk tiga buah kapal membawa anak itik baru menetas dari telur. Juragannya meminta kenalkan jantan betinanya, kepada beta. Jika tidak kenal, negeri ini pulanglah kepadanya. Maka sekarang apakah halnya beta hendak mengenalnya itu?
Setelah Ahlun nujum Belalang mendengarkan titah baginda, ia pun termenung seketika serta menyerahkan dirinya kepada Tuhan sarwa sekalian alam harapkan makbul sebarang maksudnya membuat perkataannya yang pembohong itu semuanya, Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, titah Tuanku terjunjunglah diatas otak batu kepala patik. Maka dengan berkat tinggi daulat Tuanku adalah pula buku tib itu tinggal di rumah patik, dua tiga empat peti penuh berisi dengan pasal anak itik itu sahaja. Dan harapkan ampun patik bertempuh tiga hari mencari dalam tib itu. Maka titah baginda, baiklah.
Maka Pak Belalang pun bermohon balik pulang kerumahnya dengan dukacita yang teramat sangat kerana takut kalau kedapatan budi pembohongnya itu. Maka keluh kesahlah ia tiada lalu makan dan minum dan tidur, melainkan di dalam hatinya berkata, ya Allah, ya Rabbi, ya Saidi, ya Maulai. Kepada Tuhanku juga hamba menyerahkan diri, barang dimakbulkan kiranya seperti maksud dan hajat hamba ini akan mengetahui jantan betina anak itik itu dengan mudahnya.
Hatta, perjanjian dengan baginda itu pun sampailah dua hari sudah. Maka sangatlah dukacita Pak Belalang akan perkara yang disanggupinya itu. Setelah sampai kepada malam ketiganya, maka dengan takdir Allah subhanahuwata`ala dibukakan hatinya fikiran yang baik. Baiklah aku pergi bersampan berkayuh dekat-dekat kapal mendengar perkabaran itik itu.
Maka ia pun berkayuhlah dengan perahunya yang pipih supaya tidak kedengaran bunyi air. Setelah Pak Belalang sampai kepada kapal yang tiga buah berlabuh itu seraya perlahan-lahan mendengarkan apa-apa percakapan orang dikapal itu. Maka dengan takdir Allah subhanahu wata`ala melakukan kudrat diatas hambanya, pada ketika itu bercakaplah isteri juragan kapal itu dengan suaminya. Katanya ayuhi Encik Juragan, berapa lama sudah saya bersama-sama belayar menjajakan anak itik ini minta kenalkan jantan betinanya belum juga saya tahu bagaimana hendak mengenalnya itu. Jikalau sungguh kasih kepada saya tolonglah kabarkan supaya saya tahu.
Maka jawab juragan itu, ayuhai adinda, buah hati kekanda, tiadalah dapat kekanda hendak mengabarkan hal itu, takut didengar oleh orang, kerana esok hari hendak kekanda bawa mengadap raja negeri ini minta kenalkan jantan betinanya. Jikalau tiada lalu raja itu mengenalnya negeri ini kita miliki, dan jikalau lalu pula raja itu mengenalnya, kapal yang tiga buah ini pulang kepadanya. Kita sekalian turun kain sehelai sepinggang sahaja. Tetapi oleh kasih kekanda, kabarkan. Janganlah dicakapkan kepada orang.
Maka jawab isterinya, katakanlah supaya adinda dengar. Di mana pula ada orang tengah malam datang hampir kemari? Lalu dikabarkan oleh juragan kepada isterinya, katanya, jikalau hendak mengenal jantan betina anak itik itu, hendaklah dibubuh air didalam terenang. Mana-mana yang dahulu menyelam itulah betina dan yang kemudiannya jantan.
Setelah didengar oleh isterinya, ia pun diam. Lalu tidur kedua laki isteri menantikan siang. Shahadan maka Pak Belalang pun sekalian hal ehwal itu semuanya didengar. Sangatlah suka hatinya serasa mati hidup kembali, sambil berkayuh perlahan-lahan balik pulang kerumahnya. Setelah sampai lalu memanggil perempuannya emak Belalang. Maka emak Belalang pun bangun memebuka pintu. Maka kata Pak Belalang, ada \kah nasi emak Belalang? Aku lapar ini. Pergilah masak segera, apa digaduhkan masak nasi ransom? Belanja kita raja memberi.
Maka jawab isterinya, sudah ada nasi. Makanlah. Maka Pak Belalang pun bersalin kainnya lalu duduk serta memakan nasi. Setelah itu, ia pun tidur dengan kesukaannya. Seketika lagi hari pun sianglah lalu ia bangun duduk sambil merojak sirehnya. Sebermula, maka tersebutlah perkataan juragan kapal. Telah hari siang pagi-pagi hari, maka juragan pun bersiaplah lalu naik kedarat diiringkan oleh anak-anak perahunya membawa anak itik itu. Maka baginda pun hadir diatas singgasana tahta kerajaan dihadapi oleh sekalian menteri, hulubalang, sida-sida bentara, rakyat bala, hina dina hendak melihat temasya itu.
Hatta, baginda pun menitahkan seorang biduanda memanggil ahlun nujum Belalang dengan segeranya. Maka biduanda pun menyembah lalu turun berjalan kerumah Ahlun nujum Belalang. Maka katanya titah Tuanku memanggil Ahlun nujum. Juragan dan sekalian orang telah berhimpun dibalai semuanya. Maka Ahlun nujum pun bersiap-siapkan sirehnya lalu mengadap baginda. Maka sampailah kebalairung seri. Maka titah baginda, marilah kemari.
Maka Ahlun nujum Belalang pun dekatlah dengan baginda. Maka titah baginda, Apakah hal ahlun nujum hendak mengenal anak itik itu jantan betinanya? Maka sembah Pak Belalang. Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, jenuh patikmencari di dalam tin patik. Maka dapatlah patik di dalam buku kecil sahaja, ada di dalam dua baris tertulis di tulis disitu mengatakan demikian, bahawasanya ada pun hendak mengenal anak itik itu jantan betinanya, hendaklah dengan air.
Maka titah baginda menyuruh ambilkan suatu terenang emas. Maka di bawa oleh dayang-dayang di persembahkan kepada baginda. Maka titahnya, inilah air, ahlun nujum. Maka sembah Pak Belalang, kemudian lepaskan seekor. Mana-mana yang dahulu menyelam, itulah yang betina dan yang kemudian menyelam itulah jantannya. Maka titah baginda, lepaskanlah. Sembah Pak Belalang, silakanlah Tuanku melepaskannya. Titah baginda, beta tiada tahu.
Maka Pak Belalang pun bangun seraya menyembah melepaskan itik itu. Maka apabila dilepaskannya seekor dalam terenan, maka anak itik pun menyelam. Maka sembah Pak Belalang, itulah betina, tuanku. Kemudian dilepaskan pula seekor lagi, lambat menyelam. Titah baginda, lambat pula menyelan itu. Sembah Pak Belalang, yang lambat menyelam itu jantan, Tuanku.
Maka baginda pun memandang kepada juragan kapal itu. Titahnya, apakah kabar Juragan? Betulkah seperti kata ahlun nujum ini, dimana hendak patik simpangkan perkataan yang sebenar itu? Maka titah baginda, jikalau begitu, baiklah perdana menteri beri juragan ini tiga buah perahu dan bekalnya sampai ia balik kenegerinya. Maka perdana menteri pun menyembah dan juragan kapal pun turun bersama-sama dengan menterinya seraya menyembah baginda. Kapal itu pun diserahkan kepada bendahara dengan isi-isinya.
Sebermula, tersebutlah kisah baginda itu pula memberi titah kepada Pak Belalang. Titahnya ayuhai saudara beta, ahlun nujum yang bijaksana, dengan kerelaan hati beta memberi sebuah kapal itu kepada saudara dengan isi-isinya. Maka sembah Pak Belalang, ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik harapkan diampun, sebenar sangat seperti titah itu, dengan sebolah-bolehnya patik mohon ampunlah dikurniai itu, kerana mana-mana harta yang duli Tuanku kurniakan dahulu sekarang telah sudah dihabiskan oleh didik itu bersuka ria, ampun tuanku bermain muda sahaja kerjanya.
Baginda pun tertawa gelak-gelak, titahnya, tiada mengapa, budak-budak sahajanya gemar main muda itu, tiada pula menjadi kesalahan. Tetapi kawinkan dia mana-mana yang diperkenankan dan kapal ini pemberian betalah kepadanya Si Belalang itu. Maka sembah Pak Belalang, daulat Tuanku. Maka kapal itu pun disuruh hantarkan kepelabuhan Pak Belalang, adanya.
Sebermula, telah selesai kisah anak itik itu, dengan takdir Allah subhanahu wa`tala, masuklah pula tujuh buah kapal membawa kayu yang teramat licin dan bulat, panjangnya kira-kira sehasta, nakhodanya itu pun naiklah mengadap baginda bermaklumkan halnya serta membawa kayu itu, dipersembahkan kepada baginda. Katanya, ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik harap diampun jua kiranya. Adalah patik datang ini mengadap tuanku membawa suatu kayu bulat licin semuanya. Patik minta kenalkan kayu tentukan ujung dan pangkalnya patik persembahkan ketujuh buah kapal patik ini, patik turun sehelai sepinggang sahaja.
Demi didengar oleh baginda sembah nahkoda itu, lalu titah baginda, baiklah beta minta tempoh tujuh hari kepada nakhoda. Setelah sudah, maka nahkoda kapal itu pun bermohonlah balik kekapalnya. Maka baginda pun bertitah menyuruh panggil Pak Belalang. Maka biduanda pun menyembah serta bermohon pergi mendapatkan ahlun nujum Belalang itu. Katanya, titah tuanku memanggil kebalai. Jawab Pak Belalang, apa pasal memanggil aku? Lalu ia pun turun dengan segera mengadap baginda bersama-sama dengan biduanda kebalai.
Hatta, setelah baginda melihat Pak Belalang datang itu, baginda pun memberi titah kepadanya, ayuhai ahlun nujum, apalah ikhtiar diri sekarang? Ada seorang nakhoda membawa kapal tujuh buah datang kepada beta, kerana ia ada membawa kayu bulat licin. Ia meminta kenalkan ujung pangkal kayu itu. Jikalau lalu terkenal oleh beta ujung dan pangkalnya, kapal yang tujuh buah itu diberikannya kepada beta. Jika tiada terkenal, maka negeri ini pulang kepadanya. Beta minta tempoh tujuh hari.
Arakian, telah Pak Belalang mendengar titah baginda, maka lalu ia mengangkat tangan mendatangkan sembah, ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik harap diampun, ada pun dari hal mengenal kayu, bolehlah juga patik kenalka, berkat tinggi daulat tuanku, kerana ada tujuh peti tib patik dirumah pasal mengenal kayu-kayu. Dan dua peti buku-buku pasal itu sahaja.
Titah baginda, baiklah boleh ahlun nujum lihat didalam buku-buku itu. Maka Pak Belalang pun bermohonlah kembalilah kerumahnya. Hatta, dalam pada itu sampailah perjanjian itu tujuh hari kepada malam. Maka daripada pagi-pagi hari nakhoda kapal pun bersiaplah dengan anak perahunya hendak naik kebalairung seri membawa kayu itu. Maka pada ketika hulubalang, sida-sida, bentara, penuh sesak hendak melihat temasya itu.
Maka hal Pak Belalang pada malam yang ketujuh itu turunlah ia kesampan berkayuh kekapal nahkoda itu daripada sebuah kapal kepada sebuah kapal. Hatta dengan takdir Allah subanahu wata`ala sampailah ia kekapal nahkoda yang jauh ditengah lautan sekali. Kepada masa itu nahkoda pun ada duduk sedang bermesyuaratkan darihal hendak membawa kayu itu esok harinya mengadap baginda. Maka kata sekalian anak-anak perahunya itu, ayuhai Tuan nahkoda, hamba sekalian pun sangatlah ajaib bagaimanakah hendak mengenali ujung pangkal kayu itu. Maka sahut nahkoda kepada anak-anak perahunya itu, janganlah kau sekalian cakapkan kepada orang rahsia ini, kalau didengar oleh orang rosaklah kita.
Maka kata sekalian anak-anak perahu itu, ya tuan nahkoda, dimana datang orang tengah malam ini? Maka kata nahkoda sekalian pun sangatlah ajaib bagaimanakah hendak mengenal ujung pangkal kayu itu, ada pun hendak mengenal ujung kayu itu dipegang sama tengahnya, diletakkan diatas air. Kemudian mana-mana dahulu yang tenggelam, disitulah pangkalnya.
Telah sudah nahkoda berkabarkan rahsia itu kepada anak-anak perahunya, semuanya didengar oleh Pak Belalang perkataan itu. Ia pun balik kerumahnya. Hatta, telah hari siang, pagi-pagi hari berhimpunlah sekaliannya. Maka nahkoda kapal itu pun naiklah mengadap baginda membawa kayu itu. Maka baginda pun bertitah suruh duduk seraya memandang kepintu balai penghadapan itu menantikan ahlun nujum Belalang, lalu naik keatas balai penghadapan seraya menyembah baginda. Maka ditegur oleh baginda sambil bertitah, marilah dekat dengan beta disini. Apa kabar dalam tib ahlun nujum itu?
Maka sembah Pak Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, ada pun didalam tib patik darihal hendak mengenal ujung pangkal kayu itu hendaklah dengan air, tuanku. Maka titah baginda menyuruh ambil air kepada dayang-dayang pun mengambil air, dibubuh didalam batil emas, dibawa kehadapan baginda. Maka sembah Pak Belalang, tuanku lepaskan kayu itu. Maka titah baginda, beta tiada tahu. Ahlun nujum sendiri lepaskan.
Maka Pak Belalang pun menyembah baginda seraya mengambil kayu itu. Maka ditimbangnya betul sama-sama tengah kayu, dilepaskannya didalam air itu. Maka tenggelam sebelah dahulu. Titah baginda. Apa yang dahulu temggelam itu? Maka sembah ahlun nujum Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, yang tenggelam itu pangkalnya dan ujungnya itu kemudian tenggelam kerana ringan dan pangkalnya itu berat.
Maka baginda pun memandang kepada nahkoda kapal itu seraya bertitah, apa kabar nahkoda adakah betul seperti kata ahlun nujum beta dan tiada? Maka sembah nahkoda itu, sebenarnyalah seperti kata ahlun nujum Tuanku itu. Apa hendak patik salahkan lagi? Sudah nasib patik, tuanku kerana patik dengar ahlun nujum tuanku ini arif bijaksana sangat. Inilah sebab patik mencuba kepandaiannya itu.
Maka sahut ahlun nujum, dengan sebenarnya juga encik nahkoda menyembah kebawah duli yanga maha mulia itu. Jikalau ada kepandaian arif bijaksana sekali pun jika tiada rajin usaha tiada berguna juga. Maka terasalah dihati nahkoda itu teringatkan tatkala anak-anak perahunya itu bertanyakan ujung pangkal kayu dahulu agaknya barangkali Pak Belalang itu mengendapmendengarkan kisah itu, kerana ada cakapnya itu berusaha. Tetapi itu fikiran didalam hatinya sahaja, tiada dikeluarkannya. Maka titah baginda menyuruh biduanda berikan ampun kurnia kepada nahkoda itu tujuh buah perahu serta belanja makanannya. Maka nahkoda itu pun turun dari kapal sehelai sepinggang sahaja. Maka kapal tujuh buah serta dengan isinya itu pulang kepada baginda semuanya. Maka nahkoda itu pun bermohon kepada baginda naik keperahunya langsung pulang kenegerinya.
Hatta, selang antara berapa lamanya, masuk pula sebuah kapal perdana menteri Askalan Rum mengadap baginda membawa surat rajanya kepada baginda. Tatkala itu baginda sedang semayam diatas takhta kerajaan dibalairung seri. Perdana Menteri itu pun naik lalu menyembah baginda dan mempersembahkan surat itu. Maka disambut oleh bentera dan dibaca dihadapan baginda. Demikianlah bunyinya:
Sembah sujud serta ta`zim serta takrim daripada anakanda Raja Baharum Indera Sakti dinegeri Askalan Rum, barang disampaikan kiranya mengadap kebawah tahta paduka ayahanda duli yang maha mulia. Ihwal anakanda maklumkan jikalau ada mudah-mudahan rahim kasihan belas ayahanda, anakanda pohonkan Ahlun nujum ayahanda, minta lihatkan anakanda kehilangan isteri anakanda baru kawin tujuh hari, sedang tidur dicuri oleh jin. Maka haraplah dipohonkan bersama-sama pacal Perdana Menteri itu.
Telah didengar bunyi surat itu, baginda pun menyuruh panggil ahlun nujum Belalang. Maka biduanda pun pergilah. Ada seketika lamanya, ahlun nujum Belalang pun sampailah bersama-sama dengan biduanda mengadap baginda. Maka baginda pun bertitah, hai ahlun nujum, ada pun sebab beta memanggil ini kerana ada sebuah kapal masuk kemari mengadap membawa surat darihal putera baginda negeri Askalan Rum hilang isteriny, ia sedang tidur bersama-sama dicuri oleh seorang jin. Adakah dapat ahlun nujum mengembalikan balik daripada jin itu?
Maka sembah ahlun nujum Belalang. Ampun tuanku beribu-ribu ampun, insya Allah ta`ala, berkat dengan tinggi daulat duli yang maha mulia, dari hal itu barangkali ada didalam tib-tib patik tangkal jin itu supaya ia takut. Maka titah baginda, baiklah boleh pergi sekarang bersama-sama Perdana menteri baginda ini. Maka sembah Ahlun nujum Belalang. Daulat tuanku, titah patik junjunglah. Patik pohon ampun pulang keteratak patik dahulu.
Maka titah baginda, usahlah balik dahulu. Belanja-belanja ada beta beri. Maka sembahnya, baiklah tuanku. Lalu ia menyembahkan kepada baginda bersama-sama turun kekapal Perdana Menteri itu langsung belayar kenegeri Askalan Rum. Selang antara beberapa lamanya, sampailah kejambatan larangan. Maka disambut oleh baginda itu menteri serta dengan Ahlun nujum Belalang. Maka datanglah putera baginda itu mendapatkan Pak Belalang dengan tangisnya. Titahnya , ayuhai bapa hamba, tolonglah hamba minta carikan isteri hamba yang telah dicuri oleh jin itu dengan segeranya.
Maka sembah Pak Belalang, ampun tuanku beribu-ribu ampun, pertetapkan juga hati tuanku, Insya Allah ta`ala patik pergi mencari paduka adinda itu. Maka baginda pun berangkat dari kapal naik keistana membawa Ahlun nujum Belalang, diperjamu makan dan minum tujuh hari tujuh malam, disembelih kerbau, lembu, ayam dan itik.
Hatta, lepas itu, Pak Belalang pun berdatang sembah kepada putera baginda itu. Sembahnya, ampun tuanku beribu-ribu ampun, nanti pada waktu dinihari tuanku titahkan sekalian isi negeri, rakyat bala tuanku pergi masuk kehutan sekalian isi negeri, rakyat bala tuanku pergi masuk kehutan sekaliannya mengikut patik. Tuanku pun bersama-sama berangkat. Apabila patik berhenti, tuanku sekalian rakyat pun berhenti jauh-jauh daripada patik, jangan dekat.
Maka putera baginda serta dengan dengan sekalian menteri, hulubalangnya pun mengakulah seperti sembah ahlun nujum itu. Telah malamlah, waktu dinihari, perdana menteri pun menyuruhkan sekalian rakyat isi negeri semua kehutan rimba belantara itu dengan terlalu amat kesusahannya. Hatta, apabila gari pun sudah cerah Pak Belalang pun berjalanlah bersama-sama dengan putera baginda itu diiringkan oleh menteri, hulubalangnya sekalian yang tiada tepermanai banyaknya. Maka antara beberapa lamanya sampailah Pak Belalang kepada sepohon kayu beringin ditengah padang , terlalu amat rendang pokoknya. Lalu berhentilah akan lelahnya teramat sangat, dan matanya pun mengantuk seperti diperekat rasanya. Ia pun berbaring dibawah kayu beringin itu lalu tertidur.
Hatta, dengan takdir Allah Tuhan sarwa sekalian alam, kepada ketika itu datanglah seorang tua, janggutnya putih hingga kepusatnya, seraya berkata dengan suara yang dahsyat. Sabdanya, hai Pak Belalang apakah pekerjaan engkau demikian ini sentiasa berbuat bohong sahaja, tiada perkataan yang sebenarnya? Maka Pak Belalang pun terkejut mendengarkan sabda orang tua itu, seraya menyembah, katanya, hamba tuan sungguhlah berbohong sahaja, kerana dengan hal mencari napakah hamba.
Maka sabda orang tua itu, dengan sebenarnya engkau berbuat bohong semata-mata, tetapi bohong engkau itu diperkenankan Allah ta`ala tiada menganiayai orang sekali-kali, semata-mata membuat kerana Allah memelihara raja sendiri daripada percubaan Tuhan sarwa sekalian alam keatas hambanya. Maka sekarang ini apalah pekerjaan engkau? Hendak kemana?
Maka sembah Pak Belalang didalam tidurnya, hamba tuan dititahkan oleh putera baginda ini meminta carikan isterinya dicuri oleh jin konon. Inilah hamba kerjakan. Maka sabda orang tua itu, bagaimanakah hal engkau hendak mencarinya itu? Maka sembah Pak Belalang, entahlah tuan tiada hamba tahu. Apakah nama tuan hamba?
Maka disahut oleh orang tua itu, betalah yang bernama nabi Allah Khidir, Kutubu`l alam menjaga hutan dan daratan dengan titah Tuhan beta. Ada pun darihal engkau hendak mengambil tuan puteri itu, inilah isim Allah ta`ala ya`ni tangkal yang ditakuti oleh jin, beta ajarkan. Bacalah kepada jin itu supaya ia lari. Kemudian engkau ambilah tuan puteri itu.
Maka diajarkannya suatu isim kepada Pak Belalang. Dapatlah olehnya. Maka sabda Kutubul`alam, ada pun sekarang jin itu sedang tidur memangku Tuan Puteri itu didalam suatu gua batu ditepi gunung. Segeralah pergi ketempat itu. Hatta, telah sudah berkata-kata Pak Belalang pun jaga daripada tidurnya. Maka dengan tiada lengah lagi lalu berjalan menuju kegunung itu. Maka putera baginda dengan menteri, hulubalang, rakyat pun bersama-samalah mengikuti jauh-jauh dari belakang. Dalam hal yang demikian sampailah kepada suatu gua batu. Betullah dilihatnya jin itu sedang memangku Tuan Puteri itu sedang tidur juga kedua-duanya. Maka balutlah mata Tuan Puetri itu bekas menangis. Tersangatlah belas kasihan Pak Belalang melihatnya. Maka segeralah ia membacakan isim Allah ta`alaseperti pengajaran Kutubul alam itu. Dengan berkat isim doa itu, dihembuskan oleh Ahlun nujum dikepalanya, maka jin itu pun terbanglah lari, tinggallah Tuan Puteri itu. Maka segeralah diambil oleh Pak Belalang dengan besar suaranya meminta tolong. Katanya, tolong Yuanku, segera ini adinda.
Maka apabila didengar oleh putera baginda dengan menteri, hulubalangnya maka sekalian rakyat pun berhimpum mengiringkan puteri itu, diletakkan diatas geta yang keemasan, dihadapi oleh dayang-dayang, bentar, sida-sida sekalian bertunggu menjaga Tuan Puteri itu lagi pengsan tiada sedarkan dirinya. Maka diambil oelh Pak Belalang air, dibacanya isim tadi, disiramkan pada seluruh tubuhnya.
Maka Tuan Puteri pun sehatlah sedikit lalu bangun duduk santap nasi. Maka putera baginda itu pun teramatlah sukacita melihat isterinya sudah didapati, lalu duduk disitu serta memuji-muji ahlun nujum itu, lalu menitahkan menteri hulubalang rakyat hina dina sekalian bersiap hendak kenduri melepaskan nazarnya, menyembelih kerbau, lembu, ayam dan itik makan minum tujuh hari tujuh malam.memberi sedekah kepada fakir miskin dengan beberapa pula hadiah kelelahan ahlun nujum Belalang itu, dikurniakan oleh baginda daripada harta emas, perak, kain baju dan hamba, dan kapal sebuah, cukup dengan isinya kapal itu.
Maka ahlun nujum Belalang pun mengajar putera baginda itu akan isim yang diajarkan oleh Kutubul alam itu, di perbuat tangkal Tuan Puteri itu, supaya jangan dicuri oleh jin itu balik. Maka kepada ketika yang baik, Pak Belalang pun bermohon hendak balik kenegerinya dihantar oleh putera baginda itu kedua laki isteri hingga kekapal serta dipasangkan meriam alamat tanda kebesaran diatas ahlun nujum itu. Setelah sampai kapal. Putera baginda itu pun berpeluk bercium denga ahlun nujum Belalang, bertangis-tangisan. Lalu berangkat kembali keistananya. Maka ahlun nujum Belalang pun belayarlah pulang kenegerinya.

cerita pak kodok

Sebermula, maka adalah sebuah negeri bernama Cempaka Seri, rajanya bernama Indera Sari. Maka baginda itu cukup lengkap seperti adap istiadat kerajaan yang lain-lain juga, akan tetapi ada pun tabiat baginda itu terlalulah suka menyombong dan berjudi, sehingga menjadi suatu amalan pada baginda itu. Dengan hal yang demikian, habislah sekalian rakyat seisi negeri itu menjadi asyik leka dengan berjudi juga pada setiap masa tiada sekali-kali mengambil bena kepada mendirikan syariat Nabi Sallallahu alaihi wasalam kerana raja-raja dan orang besar-besarnya terlalu amat suka mengerjakan pekerjaan maksiat itu.
Maka adalah pula seorang tua sedang pertengahan umur namanya Pak Kadok, tinggal ditepi sungai ujung negeri itu juga. Ada pun akan Pak Kadok ini terlalu dungu serta dengan tololnya. Maka adalah kepada suatu hari Pak Kadok berkata kepada isterinya, aku ini mak Siti ingin pula rasanya hendak pergi menyambung kegelanggang baginda itu kerana terlalulah suka pula aku melihatkan orang menyambung beramai-ramai di situ.
Mari kita sambung ayam biring Si Kunani kita itu, kerana ayam itu pada petuanya terlalu bertuah. Boleh kita taruhkan kampung kita kepada baginda. Kalau menang kita tentulah kita mendapat duit baginda itu.
Maka ujar isteri Pak Kadok, jikalau begitu baiklah, pergilah awak menyambung, bawa ayam kita itu.
Maka sahut Pak Kadok, jahitkanlah baju dan seluar aku dahulu dari kertas yang baru kubeli ini. Lekaslah menjahitnya.
Maka kata isterinya, bagaimana awak hendak membuatkan baju dan seluar ini. Jikalau dipakai kelak tentulah carik bertelanjang tengah gelanggang sambungan itu. Bukankah awak malu besar?
Ujar Pak Kadok, tiada mengapa. Buatkan juga lekas-lekas aku hendak pergi.
Setelah itu isteri Pak Kadok pun segeralah mengambil gunting lalu mengguntingkan seluar dan baju itu dengan tiada berdaya lagi.
Maka kata Pak Kadok, usahlah di jahit, pelekat sahajalah supaya cepat.
Serta lepas digunting oleh isterinya itu dengan sesungguhnya dilekatlah olehnya. Apabila sudah, lalu diberikan kepada Pak Kadok, maka ia pun segeralah memakai pakaiannya sedondon iaitu berbunga tanjung, merah, kuning, hitam dan putih, terlalu hebat rupanya, tambahan pula berkena tengkolok helang menyongsong angin. Apatah lagi tampaknya
Pak Kadok seperti juara yang maha faham pada sambung menyambung. Setelah sudah bersedia sekaliannya, Pak Kadok pun lalu turun menangkap ayamnya biring Si Kunani itu, serta dengan tabung tajinya, lalu berjalan menuju kegelanggang baginda itu. Selang tiada berapa lamanya, ia pun sampailah ketengah medan menyambung itu.
Sehingga setelah dilihat oleh baginda akan Pak Kadok datang itu, maka dikenallah oleh baginda seraya bertitah, Hai Pak Kadok, apa khabar? Menyambungkah kita?
Maka sembah Pak Kadok pun segeralah menyembahkan ayamnya itu lalu disambutkan oleh baginda serta diamat-amati.
Diketahuilah oleh baginda tersangat bertuah ayam Pak Kadok itu. Maka titah baginda, Hai Pak Kadok, mari kita bertukar ayam. Ambillah ayam beta ini, elok, cuba lihat romannya jalak putih mata, dan ayam Pak Kadok biring Si Kunani sahaja tiada berapa tuahnya.
Setelah didengar oleh Pak Kadok akan titah baginda menggula dirinya itu, percayalah ia. Maka sembahnya Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, jikalau sudah dengan titah duli yang maha mulia, relalah patik, seperti titah itu sedia terjunjung di atas jemala ubun-ubun patik.
Pada akhirnya lalu bertukarlah keduanya akan ayam masing-masing. Maka sangatlah sukacita baginda beroleh ayam Pak Padok itu.
Maka baginda pun bertitah kepada juara-juaranya menyuruh bulang ayam itu. Maka Tok Juara tua pun lalulah membulang balung ayam biring Si Kunani yang bertukar dengan pak Kadok itu mengenakan taji bentok alang serta dengan berbagai-bagai isyarat dan petuanya. Maka Pak Kadok pun segeralah membulang ayamnya bertukar dengan baginda itu, iaitu tuntung tajinya dihalakan kehadapan dan putingnya kebelakang.
Maka titah baginda, Hai Pak Kadok, apakah taruhnya kita menyambung ayam ini? Soronglah dahulu supaya beta lihat.
Maka sembah Pak Kadok, Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, patek ini tiada harta apa harta yang ada, hanya kampong sebuah itu sahaja. Jikalau ada ampun dan kurnia kebawah dulu Tuanku, kampong itulah patik gadaikan kebawah duli Tuanku menjadi tanggungan memohonkan berhutang kadar lima puluh rial.
Maka titah baginda, baiklah.
Lalu dikurniakan oleh baginda wang yang sebanyak permintaan Pak Kadok itu kepada dengan memegang gadaian kampung itu. Telah sudah, baginda pun menyorongkan taruhnya lima puluh rial juga, jumlahnya seratus rial. Maka serta sudah, baginda pun mengajak Pak Kadok melepaskan ayam masing-masing. Sembah Pak Kadok, silakanlah Tuanku.
Maka baginda pun lalulah menguja-uja ayam keduanya itu. Maka naiklah bengis keduanya, serta meremang bulu suak ditengkuknya, lalulah bersama-sama melepaskan ayam masing-masing. Maka ayam biring Si Kunani pun datanglah menggelepur ayam jalak. Dan Si Jalak pun segeralah membalas pula, tetapi kasihan,sungguh pun Si Jalak membalas, percuma saja kerana tajinya dibulang oleh Pak Kadok, juara tuntungnya kehadapan dan putingnya kebelakang. Jadinya bila Si Jalak membalas itu tertikamlah pada dadanya sendiri lalu tersungkur menggelupur ditengah gelanggang itu, kerana dua liang sudah lukanya sekali terkena tikam oleh taji Si Biring dan sekali ditikam oleh tajinya sendiri.
Setelah Pak Kadok melihatkan ayam jalak sudah mati dan Si Biring itu menang maka ia pun lupalah akan hal ia telah bertukar dengan baginda tadi. Wah apatah lagi ia pun tiadalah sedarkan dirinya seraya bertepuk tangan dan bersorak serta melompat-lompat lalu menyerukan tuah ayamya itu. Maka oleh tersangat bertepuk dan melompat itu, habislah pecah bercarik-carik seluar dan baju kertasnya itu, bercabiran berterbangan oleh angin berkeping-keping kesana kemari bercampang-camping. Maka Pak Kadok pun tinggallah berdiri ditengah khalayak yang banyak itu dengan bertelanjang bogel sahaja.
Hatta demi dilihat oleh baginda dengan sekalian orang besar-besar dan rakyat, tentera hina dina sekalian akan hal Pak Kadok ini, semuanya tertawa serta bertepuk tangan dengan tempek soraknya kesukaan melihat temasya Pak Kadok itu. Demikian juga baginda pun tertawa bersama-sama.
Maka ada pun akan Pak Kadok, demi ia melihat sekalian mereka itu habis tertawa, ia pun tercengang pula kerana pada sangkanya mereka itu menumpang kesukaan dirinya itu.
Kemudian apabila ia menoleh kepada tubuhnya, barulah diketahuinya akan dirinya bertelanjang bulat itu. Aduhai! Malunya yang amat sangat lalu ia berkerja lari dengan bersungguh-sungguh hati, lansung pulang ke rumahnya. Maka baginda pun berseru dengan nyaring suaranya. Inilah malang Pak Kadok, ayamnya menang, kampung tergadai.
Maka baginda dengan sekalian yang ada di dalam medan sabung itu pun kembalilah masing-masing kerumahnya.
Ada pun akan Pak Kadok lari itu tiadalah ia memandang lagi kekiri kekanan. Serta ia sampai kerumahnya seraya terpandang oleh Mak Siti, maka terpanjatlah orang tua itu seraya berkata, Apa kena awak, Pak Kadok seperti orang gila ini?
Maka oleh Pak Kadok di kabarkannya ialah daripada awal hingga keakhirnya. Serta didengar sahaja oleh isterinya akan hal suaminya itu, ia pun menagislah kerana mengenangkan untungnya yang malang itu dengan berbagai-bagai sungut leternya akan Pak Kadok oleh kebodohannya itu. Maka Pak Kadok pun diamlah terkosel-kosel, tiada berani menjawab akan isterinya lalu ia pergi membuat kerjanya sehari-hari itu juga.
Sekali peristiwa Pak Kadok dijemput oleh orang makan kenduri. Mula-mula datang orang yang dihilir sungai tempatnya tinggal itu mempersilakan Pak Kadok kerumahnya pada esok hari, waktu zohor iaitu makanannya seekor kerbau. Maka katanya Baiklah.
Setelah mereka itu sudah kembali, ada seketika datang pula orang dari hulu sungai itu menjemput Pak Kadok kerumahnya pada esok hari juga tatkala tengah hari muda, iaitu jamuannya memotong lembu dua ekor pula. Itu pun disanggupnya juga.
Telah hari malam, Pak Kadok pun tidurlah kedua laki isteri. Ada pun adapt pak Kadok telah lazim padanya setiap pagi memakan nasi dingin yang telah direndam oleh isterinya pada malam itu. Apabila sudah makan nasi yang tersebut itu, barulah ia pergi barang kemana-mana membuat kerjanya.
Hatta setelah keesokan harinya, pagi-pagi pak Kadok pun bangunlah bersiap memakai, lalu turun memikul pengayuh berjalan menuju kepangkalan. Serta dilihat oleh isterinya ia pun menyeru akan suaminya katanya, Hai Pak Siti, tidakkah hendak makan nasi rendam ini lagi? Sementangkan nak makan lembu dan kerbau nasi ini ditinggalkan sahaja.
Maka sahut Pak Kadok, Tak usahlah, curahkan ketanah biar dimakan oleh ayam kita.
Maka oleh isterinya dengan sebenar nasi itu dibuangnya ketanah, dan Pak Kadok pun turun keperahu lalu berkayuh.
Ada pun pada masa itu air sungai sedang surut terlalu amat derasnya. Maka Pak Kadok berfikir di dalam hatinya, kemana baik aku pergi. Jika ke hilir tiada penat dan teruk aku berkayuh, hanya menurutkan ayir dihilir sahaja, tetapi kerbau seekor kemanakah padanya. Kalau begitu baiklah aku mudek juga.
Ia pun lalu berkayuh mudek menongkah air surut itu dengan terbengkil. Apabila penat dia berhenti sambil berfikir pula, dan perahunya hanyut balik kehilir setanjung dua tanjung jauhnya berkayuh pula. Demikianlah hal Pak Kadok, kayuh-kayuh berhenti dengan berfikir juga.
Beberapa lamanya air pun tenang surut. Hampir akan pasang baharulah Pak Kadok sampai kerumah jemputan itu, tetapi apalah gunanya. Sia-sia sahajalah penat jerehnya itu kerana matahari pun telah zuhur, jamuan itu pulang ke kampung masing-masing.
Maka apabila terlihat oleh tuan rumah akan Pak Kadok datang itu, ia pun berkata, Amboi kasihannya di hati saya oleh melihatkan penat sahaja Pak Kadok datang, suatu pun tidak ada lagi, yang ada semuanya telah habis. Malang sungguhlah Pak Kadok ini.
Telah didengar oleh Pak Kadok, maka ujarnya, sudahlah apa boleh buat. Sahajakan nasib saya.
Maka ia pun berkayuhlah hilir pula, hasratnya hendak mendapatkan rumah yang memotongkan kerbau itu pula, tetapi air sudah pasang deras. Maka Pak Kadok pun berkayuhlah bersungguh-sungguh hatinya menongkah air pasang itu, terbengkil-bengkil di tengah panas terik dengan lapar dahaganya. Tetapi kerana bebalnya itu tiadalah ia mahu singgah kerumahnya langsung sahaja ia kehilir, hendak segera menerpa kerbau yang lagi tinggal itu. Sehingga air pasang hampir akan surut, barulah Pak Kadok sampai kesana pada waktu asar rendah dan sekalian orang jemputan pun sedang hendak turun berkayuh pulang kerana sudah selesai jamuan itu. Maka apabila dilihat oleh Pak Kadok akan hal itu ia pun tiadalah hendak singgah lagi kerumah orang kenduri itu, lalu ia memaling haluan perahunya, langsung berkayuh mudek dengan rungutnya seperti baung dipukul bunyinya, kerana terlalu amat penatnya terpaja-paja ke hulu kehilir di tengah panas terik itu, perut pun sudah kebuluran dan mata Pak Kadok naik berbinar-binar, tambahan pula mudek itu pun menongkah juga. Maka pada waktu senja baharulah ia sampai kepangkalannya seraya menambat perahu dan naik ke rumah.
Shahadan, apabila dilihat oleh isterinya akan muka suaminya masam dan diam tiada berkata-kata, maka ia pun menyeru akan Pak Kadok, katanya apakah agak sebabnya orang pergi memakan lembu dan kerbau ini masam sahaja? Apa lagi yang kekurangan? Perut sudah kenyang makan daging.
Maka berbagai-bagai bunyi ratap Pak Kadok. Kemudian ia pun naiklah metanya, serta mengambil kayu api dan berkata, kenyang memakan kepala bapa engkau. Lalu ia memalu kepala isterinya. Dengan takdir Allah, sungguh pun sekali pukul sahaja, isteri Pak Kadok pun rebah lalu mati. Setelah dilihat oleh Pak Kadok isterinya sudah mati, ia pun merebahkan dirinya disisi isterinya itu lalu menangis mengolek-golekkan dirinya seraya berkata, aduhai malang nasibku ini, sudahlah penat berkayuh kehulu kehilir, mana kebuluran, sampai kerumah isteriku pula mati oleh perbuatanku juga.
Maka berbagai-bagailah bunyi ratap Pak Kadok. Kemudian ia pun menjemput segala pegawai akan menanamkan isterinya itu.
Setelah selesai daripada pekerjaan itu, maka Pak Kadok pun berniat hendak pindah dari rumahnya, bertandang duduk barang kemana-mana rumah yang lain, asalkan boleh ia meninggalkan kampung halamannya itu sudahlah, kerana fikirannya dari sebab ia tinggal di rumah dan kampungnya itulah, maka ia beroleh kemalangan yang begitu sialnya. Setelah tetaplah fikirannya yang demikian, maka Pak Kadok pun mengemaskan sekalian harta bendanya lalu diangkatnya turun keperahu. Serta bersedia ia pun melangkah dengan tauhid hatinya meninggalkan kampung halaman dengan rumah tangganya, akan berpindah ke kuala sungai itu menumpang duduk di rumah seorang handainya disana.
Arakian, Pak Kadok pun membabarkan layarnya seraya menujukan haluan perahunya ke kuala. Tetapi kasihan. Percumalah penat jereh Pak Kadok membentang layar dan mengemudikan perahunya itu, dari kerana sungguh pun pada masa ia menarik layar tadi angin paksa sedang kencang bagus, tetapi serta layarnya sudah sedia, angin pun mati seperti direnti-rentikan oleh yang hasad akan Pak Kadok lakunya. Maka perahu Pak Kadok pun hanyutlah terkatong-katong kehulu kehilir, ketengah dan ketepi menantikan angin. Beberapa lamanya dengan hal yang demikian, hari pun hampirlah akan petang, tubuh Pak Kadok terlalu amat letih dan lesunya. Lama kelamaan datang bebal hatinya serta merampas lalu ia menurunkan layer dan melabuh sauhnya seraya membentangkan kajang berbaring-baring melepaskan jerehnya.
Maka dengan kudrat Allah yang maha kaya menunjukkan kemalangan nasib Pak Kadok, angin paksa pun turunlah berpuput dengan ugahari kencangnya seolah-olah khianatkan Pak Kadok lakunya. Tetapi sia-sialah sahaja puputan bayu yang sedemikian itu moleknya hingga menjadi paksa yang maha baik dengan sebab kemalasan menjadi kemalangan bagi diri Pak Kadok, hingga ditaharkan perahunya ulang-aling di palu oleh ombak dengan gelombang ditengah sungai itu, seraya berkata Cheh! Angin bedebah ini sahajakan ia hendak menunjukkan makarnya kepada aku. Sedanglah sudah sehari suntuk aku hanyut, tak mahu turun, agaknya oleh tegar hatiku. Biarlah tak usah aku belayar, asalkan puas rasa hati ku. Jangan aku menurutkan kehendak engkau.
Kemudian ia pun tidurlah dengan terlalu amat lenanya kerana lelah dan kelaparan. Hatta setelah keesokan harinya, pagi-pagi Pak Kadok pun bangunlah membongkar sauhnya seraya berkayuh perlahan-lahan seharian itu, hingga petang barulah ia sampai kerumah sahabatnya itu, seraya mengangkat sekalian barang-barangnya naik kesitu. Maka tinggallah Pak Kadok menumpang di rumah handainya itu selama-lamanya dengan tiada sekali-kali ingatannya hendak kembali kekampung halamannya dari sebab bodohnya.
Maka dari kerana kemalangan diri Pak Kadok itu sentiasa di perbuat orang akan bidalan oleh sekalian mereka pada zaman sekarang dengan seloka, demikianlah bunyinya:
Aduhai malang Pak Kadok!
Ayamnya menang kampung tergadai
Ada nasi di curahkan
Awak pulang kebuluran
Mudek menongkah surut
Hilir menongkah pasang
Ada isteri di bunuh
Nyaris mati oleh tak makan
Masa belayar kematian angin
Sudah di labuh bayu berpuput
Ada rumah bertandang duduk.


cerita lebai malang

Al kisah, maka adalah kononya sebuah hutan. Maka di dalam hutan itu ada dua orang miskin laki isteri. Akan yang lakinya itu bernama Pak Pandir dan isterinya itu bernama Mak Andeh. Ada pun Pak Pandir itu tersangatlah bodoh serta dengan dungunya. Maka kerjanya itu bercucuk tanam pada sepanjang masa.
Dengan hal yang demikian, beberapa lamanya, Mak Andehpun hamillah. Setelah genap bulannya, maka Mak Andeh pun bersalinlah seorang perempuan. Maka Pak Pandirlah bidannya. Telah selamat lalu di peliharakan dengan sepertinya.
Tiada berapa lamanya, dengan takdir Allah, maka kanak-kanak itu pun dapat sakit guam, serta dengan demamnya. Tersangatlah susah hati Mak Andeh, teristimewa pula makan pun tiada berlauk oleh ia pun didalam pantang lagi. Maka Mak Andeh meneriak Pak Pandir, katanya pergilah awak memancing kesungai-sungai itu moga-moga dapat ikan, bolehlah diperbuat lauk. Aku hendak makan pun tidak lalu, kerana tiada berlauk. Dan aku pun hendak pergi tiada lalu, oleh sakit badan ku lagi.
Maka sahut Pak Pandir, aku hendak memancing apa umpannya, Andeh?
Maka jawab isterinya, tangkaplah belalang rusa itu, umpankan pada taut besar kita itu.
Maka jawab Pak Pandir, ya baiklah Andeh.
Maka Pak Pandir pun pergilah membawa tali dan taut serta parang sebilah, lalu berjalan ia masuk kedalam hutan hendak mencari rusa akan umpan tautnya. Ada seketika ia berjalan, sampailah ia kepada suatu repoh muda. Maka terpandanglah olehnya seekor rusa jantan sedang tertidur dengan terlalu nyedarnya. Maka Pak Pandir pun datanglah perlahan-lahan, lalu diikitnya dengan tali tangan dan kaki rusa itu, kemudian di helanya. Maka rusa itu pun terkejutlah jaga lalu bertempek hendak lari, tiadalah dapat lagi oleh sudah di bebatnya seperti lepat. Beberapa pun ia melompat dan menghempas menerajang, makin lama semakin letih. Maka oleh Pak Pandir dihelanya juga tiada berhenti, hingga sampai ke tepi sungai berhampiran dengan rumahnya. Maka disitu hendak ditahankannya taut itu. Kemudian ia pun menebang sebatang kayu akan baur tautnya itu. Telah sudah lalu di cangkukkannyalah mata taut itu kebelakang rusa itu. Maka rusa itu pun menjeritlah oleh kesakitan. Kemudian dicampakkannyalah taut itu kedalam sungai itu. Wah apatah lagi, rusa itu pun menghempas dan berguling-guling oleh kelemasan. Mak Andeh nantilah, kalau taut kita di makan oleh ikan, bolehlah makan lauk.
Maka ujar Mak andeh, baiklah.
Setelah itu, Pak Pandir pun pergilah membuat apa-apa kerjanya. Maka rusa umpan taut Pak Pandir itu pun oleh tersangat sejoknya, menhempaslah ia serta dengan tempeknya yang amat kuat. Maka kedengaranlah kepada Mak Andeh. Ia pun terkejut seraya memanggil Pak Pandir bertanyakan apa bunyi yang demikian dasyatnya itu. Maka jawab Pak Pandir, apa Andeh tak tahukah? Itulah umpan taut yang Andeh suruh tahan tadi.
Maka kata Mak Andeh, apa benda umpannya sampai begitu besar bunyinya? Maka jawab Pak Pandir, kata Andeh tadi cari rusa jantan buat taut. Itulah aku tangkap seekor rusa jantan, aku cangkukkan pada mata taut itu ditengah belakangnya dan kakinya aku ikat.
Kemudian kata Mak Andeh, rusakah yang awak buat umpan itu?
Maka jawab Pak Pandir, yalah rusalah yang aku umpankan taut itu.
Maka Mak Andeh pun marahlah akan Pak Pandir serta dengan tengking herdeknya akan Pak Pandir. Katanya, pergilah ambil bawa kemari taut serta dengan umpannya itu! Sahajakan yang bingong tolol tak boleh diharap sbarang kerja semuanya tak tahu.
Maka Pak Pandir pun segeralah pergi mengambil taut bersama dengan umpanya dihelanya berpusing-pusing hingga sampai kehalamannya seraya berkata, nah Andeh, lihatlah oleh mu apa namanya ini.
Mak Andeh pun datanglah kepintu melihat yang diseret oleh Pak Pandir itu. Wah apabila dilihatnya terkejutlah ia seraya berkata, Cheh, Pak Pandir bodoh, mati bangat. Aku suruh cari belalang rusa membuat umpannya, apa guna di tangkap rusanya pula? Jikalau sudah dapat rusa, usahlah menahan taut lagi, daging ini bukankah lauk juga?
Maka Pak Pandir pun diamlah terkulat-kulat. Kemudian kata Mak Andeh, asah parang itu, boleh disembelih lekas-lekas, kalau lama nanti mati pula rusa ini.
Maka Pak Pandir pun pergilah mengambil goloknya yang berhulu buluh dan disarungkan upih itu, lalu diasahnya sampai tajam. Diberikannya kepada Mak Andeh. Katanya sembelihlah Andeh.
Maka kata Mak Andeh, aku orang perempuan, dimanakan boleh menyembelihnya, aku mana tahu? Andehlah sembelih. Kemudian kata Mak Andeh, sembelihlah boleh aku tunjukkan.
Maka dikatakan oleh Mak Andeh segala pekerjaan menyembelih itu, lalu diperbuatlah oleh Pak Pandir. Maka apabila rusa itu merasa sakit, ia pun menghempaslah dengan sekuat-kuatnya. Maka Pak Pandir pun bersebuklah memegangkan rusa itu dengan sekuat hatinya.
Hatta, rusa itu pun matilah, lalu dilapah oleh Pak Pandir daging rusa itu, separuh dibuat salai dan separuh di panggang dan diperbuat pacak. Barulah separuh masak Pak Pandir pun tampillah meratah daging itu. Maka diintai oleh Mak Andeh akan kelakuan Pak Pandir itu seraya disergahnya. Katanya, Apa Pak Pandir buat meratah daging belum masak lagi itu?
Maka sahut Pak Pandir aku makan sedikit sahaja, Andeh. Nahlah rasa sedikit dahulu.
Maka kata Mak Andeh, tiada aku ingin muntahkan darahlah oleh awak seorang.
Maka Pak Pandir pun diamlah sambil menyalakan api salainya. Setelah masak sekaliannya, lalulah berbahagi dua, Pak Pandir separuh, Mak Andeh separuh. Maka bahagian Pak Pandir ditaruhnya didalam karung, digantung ditulang bumbung. Sehari-hari di panjat dimakannya. Dan bahagian Mak Andeh diserkapnya di bawah kawah, tiada diketahui oleh Pak Pandir.
Setelah habislah salai Pak Pandir, maka Mak Andeh, apabila ia hendak makan dikeluarkannya sediki-sedikit. Telah di lihat oleh Pak Pandir akan Mak Andeh makan berlauk salai lalu dipintanya. Katanya ambilkan aku sedikit, andeh, daging salai itu.
Maka kata Mak Andeh, Pak Pandir punya kemana perginya? Sedangkan awak yang banyak lagi sudah habis, inikan pula aku yang sedikit.
Maka Pak Pandir pun diamlah, makan nasi dengan garam sahaja terkulat-kulat. Maka kasihan hati Mak Andeh, di berinya sekeping daging salai itu seraya katanya, sudah, jangan minta lagi. Sudah habis ya Pak Pandir.
Maka kata Pak Pandir, Kalau habis tiadalah aku hendak lagi. Jika ada, aku hendak juga. Andeh sahaja makan berlauk aku tiada tentu aku tiada lalu makan.
Setelah lepas makan, hari pun malamlah. Hatta, pada keesokan harinya, kata Mak Andeh kepada Pak Pandir, sekarang jerangkan air keapi. Setelah panas suam-suam kuku mandikanlah anakku ini. Aku hendak pergi mencari ubat budak ini.
Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Maka Mak Andeh pun pergilah mencari daun genggayang membuat pupuk anaknya kepala anaknya itu. Sepeninggalan Mak Andeh pergi itu, Pak Pandir pun melekat api menjerangkan air di dalam kawah. Ada seketika air itu pun panaslah serta menggelegak sedang gelora. Maka diambilnya anaknya itu, di masaukkannya kedalam kawah itu, lalu matilah menyeringai gusinya serta menggelupas kulitnya. Maka kata Pak Pandir, Amboi sukanya anakku mandi air panas rupanya.
Kemudian lalu diangkatnya budak itu dari dalam kawah, di timang seraya berkata hai suka sangat anakku mandi. Mandilah lagi. Serta di masukkannya pula kedalam kawah itu.
Maka seketika lagi Mak Andeh pun baliklah membawa daun gengganyang akan ubat anaknya, langsung naik kerumah mendapatkan anaknya. Maka dilihatnya tiada anaknya di tempat tidurnya itu. Maka Mak Andeh pun meneriakkan Pak Pandir seraya berkat, kemana perginya anak kita di sini? Maka sahut Pak Pandir, ini bukankah dia, sedang ku mandikan. Cuba juga lihat, terlalu suka dia Andeh.
Maka Mak Andeh pun segeralah pergi kedapur melihat anaknya itu. Terpandanglah si anak itu telah terjeringing di dalam kawah yang sedang mendidih airnya dengan gelora sangat itu. Maka Mak Andeh pun mengucap, demikian katanya, Astaghfirullah! Apa mulanya Pak Pandir demikian? Cheh, Pak Pandir sial bedebah tak mahu ditangkap harimau panjang tujuh, buaya panjang sembilan, supaya bangat matinya. Adakah patut air yang seperti ini panasnya itu dicelurkan kanak-kanak! Amboi, gunung payung, intan gemala, urat rambut batu kepala emak, matilah anakku! Sampainya hati bapamu membunuh akan dikau.
Maka berbagai-bagailah bunyi ratap tangis Mak Andeh, lalu dipalunya akan Pak Pandir serta ia mengambil anaknya. Demi didengar oleh Pak Pandir akan kata Mak Andeh anaknya sudah mati itu, barulah ia menangis serta menghempaskan kepalanya pada segenap bendul dan tiang rumah itu, sepertikan gila lakunya hingga mendatangkan ketakutan pula kepada Mak Andeh melihatkan kelakuan Pak Pandir itu, kalau-kalau ia mengamuk pula. Maka Mak Andeh pun berkata, janganlah Pak Pandir tersangat risaukan kematian anak kita ini. Baiklah awak pergi tanamkan budak ini, balutkan dengan belat ini dahulu, kemudian tanamkan.
Setelah Pak Pandir mendengar perkataan Mak Andeh itu, maka ia pun pergilah membalut anaknya itu dengan belat lalu dipikulnya, dibawa ketempat perkuburan.
Arakian, telah sampai separuh jalan anaknya itu pun terjatuhlah dari dalam gulungan belat itu, tiada di ketahui oleh Pak Pandir. Setelah sampai ke kubur, ia pun mengorek liang lalu ditanamkannya belat segulung itu tiada dengan periksanya lagi, lalu ditimbusnya. Kemudian ia pun berjalan pulang. Apabila ia sampai separuh jalan maka bertemulah ia dengan mayat anaknya yang tertinggal tadi. Maka apabila di lihat oleh Pak Pandir akan mayat itu, maka ia pun berfikir dihatinya, Hai bukanlah aku seorang sahaja yang kematian anak ini, ada pula orang lain yang mati anaknya juga. Serupalah nasibnya dengan untungku ini.
Maka ditatapi pula oleh Pak Pandir rupa mayat itu, betul-betul serupa dengan anaknya daripada muka, hidung sifat tubuhnya sekali dan perempuan juga. Maka dengan sesaat itu hilanglah dukacitanya lalu segeralah berlari pulang. Serta sampai ke halaman tangganya ia pun berseru akan perempuannya, katanya, Andeh, Andeh! Bukannya kita sahaja yang mati anak rupanya, orang lain pun ada juga yang mati anaknya, perempuan juga dan rupanya pun semacam betul-betul dengan anak kita.
Maka sahut Mak Andeh, agaknya kalau-kalau anak kita juga tercicir ditengah jalan dari dalam belat itu kalau awak tidak sedar.
Maka kata Pak Pandir, tidak Andeh. Aku rasa berat yang aku tanamkan tadi. Maka sahut Mak Andeh baiklah, moh kita lihat pula. Kata Pak Pandir, mohlah, Andeh aku tunjukkan. Maka kedua-duanya pun pergilah bersama-sama berjalan. Tiada berapa antaranya sampailah kepada mayat anaknya itu. Maka kata Pak Pandir kepada Mak Andeh, inilah dia anak orang yang mati itu. Bukankah serupa dengan anak kita, Andeh.
Telah dilihat oleh Mak Andeh, dikenalnyalah akan anaknya. Maka Mak Andeh pun marahlah dengan sumpah seranahnya akan Pak Pandir, lalu diambilnya seraya didukung mayat kanak-kanak itu serta di suruhnya Pak Pandir mengorek belat yang ditanamkan itu. Lalu di balutkan anaknya, ditanam semula. Setelah sudah keduanya pun pulanglah kerumah dengan dukacitanya hingga malam hari tiadalah tidur Pak Pandir laki isteri.
Maka kata Mak Andeh kepada Pak Pandir, esok hari pergilah awak membeli kerbau. Nah wang empat puluh rial. Boleh kita kendurikan anak kita barang sesuap nasi dan seteguk air.
Maka jawab Pak Pandir, bagaimana rupa kerbau itu, Andeh? Maka kata Mak Andeh yang meragut-ragut rumput itulah kerbau. Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Kemudian keduanya pun tidurlah berkaparan.
Hatta setelah keesokan harinya, maka Pak Pandir pun pergilah hendak mencari kerbau, membawa wang empat puluh rial, berjalan masuk hutan keluar hutan, masuk rimba keluar rimba lalu sampailah ia kesebuah ladang padi. Maka didalam ladang itu adalah pula seorang perempuan tua sedang merumput dengan keri. Maka kata Pak Pandir, hai emak, mahukah menjualkan kerbau yang dipegang itu?
Maka jawab perempuan itu, tiadalah sekali-kali hajat hendak menjualkan dia, kerana sahaya memakai sendiri. Maka kata Pak Pandir, juallah biar sahaya membeli akan dia. Nahlah, ini wangnya empat puluh rial. Ambillah.
Lalu dihantarkannya di hadapan orang tua itu, dan kerbau itu pun diambilnya. Maka orang tua pun tiadalah terkata-kata lagi, istimewa pula melihatkan wang empat puluh rial itu, lalu diamlah ia. Maka oleh Pak Pandir keri itu pun dibubuhnya bertali pada hulunya, ditariknya pulang kerumahnya. Maka sepanjang-panjang jalan itu, mata keri itu mengenai keting Pak Pandir, habis luka dan berdarah. Maka kata Pak Pandir cheh bedebah celaka ini terlalu bengkeng pula ia menanduk kaki kita. Tetapi keri diseretnya juga.
Tiada berapa lamanya sampailah ia kerumahnya, lalu Pak Pandir meneriak Mak Andeh. Katanya, Andeh, nahlah kerbau Andeh. Maka kata Mak Andeh, tambatkanlah dahulu kepada tempat yang berumput itu. Maka keri itu pun ditambatkan oleh Pak Pandir. Ia pun naik kerumah menunjukkan kakinya yang dimakan keri itu. Katanya terlalu bengis sekali kerbau jembalang itu. Dan berbagai-bagai rungutnya.
Demi dilihat oleh Mak Andeh kaki Pak Pandir seakan-akan di makan parang, maka Mak Andeh, dimana kerbau itu awak tambatkan. Maka sahut Pak Pandir, kepada rumput itulah aku tambatkan. Maka Mak Andeh pun turunlah pergi melihat kerbau itu. Hingga puaslah di carinya kesana kemari tiada juga di jumpanya. Maka kata Mak Andeh di manakah awak tambatkan kerbau tadi? Penat sudah aku mencari, tiada juga bertemu. Maka kata Pak Pandir, aku tengah makan nasi, nantilah dahulu. Seketika lagi ia pun sudah, lalu turun pergi menunjukkan kerbau itu. Maka katanya, ini apa, Andeh? Bukankah kerbau? Sahajakan mata Andeh seperti orang buta. Maka Mak Andeh pun pergilah kepada Pak Pandir hendak melihat kerbau itu dengan terintai-intai mencari kerbau serta dengan herannya. Maka Pak Pandir pun berkata ini, ini dia kerbau Andeh.
Lalu ditariknya tali keri itu. Apabila dilihat oleh Mak Andeh, wah apatah lagi! Tak ketahuanlah bunyi maki hamun sumpah seranahnya akan Pak Pandir seraya berkata, inilah agaknya kerbau bapa engkau yang bengong tolol itu! Adakah begini rupa kerbau? Allah! Allah! Pak Pandir padanlah nama dengan bodoh. Pergi lekas pulangkan keri ini. Bukannya kerbau, inilah keri, gunanya merumput padi. Dan minta kerbau yang betul, kakinya empat, tanduknya dua.
Maka Pak Pandir pun pergilah menarik keri itu hendak memulangkan kepada tuannya. Selang tiada berapa lamanya sampailah ia kepada orang tua itu. Maka kata Pak Pandir, hai emak tua, ambillah balik kerbau ini. Kata Andeh , ia suruh minta kerbau yang bertanduk dan berkaki lagi hidup. Maka orang tua itu pun tercengang seraya berfikir didalam hatinya, Pak Pandir rupanya orang ini. Maka kata orang tua itu, hai Pak Pandir nantilah di sini dahulu supaya aku ambilkan kerbauku di kampung.
Maka Pak Pandir pun berhentilah disitu menanti-nantikan orang tua itu kembali. Ada seketika orang tua itu pun datanglah membawa kerbau lalu diserahkannya kepada Pak Pandir. Maka Pak Pandir pun berjalanlah menarik kerbau itu. Tetapi sampai kerumah, maka ia pun menyeru Mak Andeh, katanya Andeh marilah lihat kerbaukah ini atau bukan?
Maka Mak Andeh pun keluar. Katanya itulah kerbau yang betul. Tambatlah ia kepada rumput yang muda itu. Telah sudah ditambat oleh Pak Pandir , ia pun naik kerumah lalu makan nasi. Ada sekejap lagi, hari pun malam. Pak Pandir laki isteri pun mesyuarat hendak kenduri pada esok hari. Telah tetap kira-kira keduanya pun tidur.
Hatta pada pagi-pagi esoknya, Pak Pandir pun merapus kerbau lalu disembelihnya. Telah matilah sudah, Pak Pandir pun tampillah melapah kerbau itu berdua dengan Mak Andeh. Telah siap lalu dibawa kerumah serta di masaki oleh Mak Andeh segala lauk-lauk dan nasi berpuluh-puluh kawah dan kancah.
Setelah selesai sekaliannya, maka kata Mak Andeh, pergilah awak segera menjemput haji dan lebai, kita berkenduri. Maka kata Pak Pandir, bagaimana rupa haji dan lebai itu, Andeh? Maka jawab isterinya. Ada pun haji itu berserban di atas kepalanya dan lebai itu berjanggut-janggut di bawah dagunya itu. Maka ujar Pak Pandir baiklah Andeh. Maka ia pun mengambil goloknya lalu turun berjalan mencari haji lebai yang seperti pesan Mak Andeh itu, masuk hutan rimba keluar kepadang lalu kesebuah kampung orang.
Maka dilihat oleh Pak Pandir disisi kampung itu adalah beberapa ekor kawan kambing sedang makan rumput. Semuanya berjanggut. Maka Pak Pandir pun hampirlah kepada kawan kambing itu serta berkata, Hai Pak Lebai, andeh mengajak kerumah hendak kenduri. Maka kambing itu pun berbunyilah oleh ketakutan melihat Pak Pandir itu, lalu ia lari tiada berketahuan lagi seraya berbunyi ‘ Bek! Bek!' kata Pak Pandir, apa sebenarnya Pak Lebai mengata nasi Andeh lembek? Tidak lembek, keraslah betul.
Maka kambing itu pun lari juga hendak pulang kekampung. Maka kata Pak Pandir, aku itulah yang terlalu panas rasa hatiku. Andeh sudah penat bertanak nasi dikatanya pula nasi lembek. Maka Pak Pandir pun berselampitkaan kainnya berlari mengejar kawan kambing itu dengan bersungguh-sungguh hatinya serta ditangkapnya. Dapat seekor bapa kambing jantan, langsung dipikul dibawanya pulang.
Maka pada pertengahan jalan itu bertemulah ia dengan sekawan burung pipit uban sedang merayap diatas rumput. Maka kata Pak Pandir, Hai Haji, mari kita pergi kerumahku. Andeh menyuruh ajak, kami hendak kenduri. Maka burung itu pun berbunyi, ‘Pit! Pit!' Maka kata Pak Pandir, rumah kami tidak sempit, haji luas dan besar. Jangan kita lambat lagi, Andeh sudah lama menanti.
Setelah itu pipit tu pun terbang lari. Maka diusir juga oleh Pak Pandir sambil berkata, Nanti, nanti kita pergi bersama-sama. Hingga penatlah ia mengikut burung itu, hampir-hampir lelah. Maka naiklah berang Pak Pandir seraya mengambil kayu lalu dilemparnya. Maka dengan takdir Allah kena dua ekor burung itu lalu jatuh ketanah. Maka segeralah diambil oleh Pak Pandir seraya katanya, tadi aku ajak benar-benar, tiada mahu sekarang baharu hendak pula, sahajakan haji buta perut.
Maka ia pun berjalan. Seketika lamanya sampailah kerumah. Hari pun hampir petang. Maka didapatinya Mak Andeh masih bersiap menyajikan hidangan sudah teratur sahaja sekadarkan menanti datang orang jemputan. Maka Pak Pandir pun naiklah membawa bapa kambing serta dengan burung pipit ituseraya katanya. Nah Andeh Pak Haji dengan Pak Lebai, bagaikan nak mati aku mengejar. Hendak mengajak makan kenduri seorang pun tiada yang mahu.
Wah! Apabila dilihat oleh Mak Andeh, apatah lagi, hingga tenarlah bunyi sumpah seranahnya akan Pak Pandir, hingga tiada terdengar oleh anjing dan kucing. Serta katanya, aduhai harapnya hatiku hendak kenduri, di perbuat oleh Pak Pandir keparat umpan alir ini, ta mahu pun di tangkap oleh harimau panjang sembilan itu, sahajakan yang tiada boleh diharap. Kalau muntahkan darah pulangkan kepadanya sahaja pun jadi, tentang kerja jangan. Lain disuruh, lain dibuatnya.
Maka jawab Pak Pandir, Andeh kata cari lebai yang berjanggut dan haji yang berserban putih ini bukankah dia? Semuanya Andeh marahkan aku. Maka Mak Andeh pun diamlah pun diamlah seraya katanya, baiklah pergi pula panggil Dato Keramat Jin Islam kemari, tetapi baik- baik, jalan itu simpangnya dua yang sebelah kiri itu terus kerumah nenek gergasi.
Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Maka Pak Pandir pun berjalanlah dengan senjatanya golok sebilah. Berjalan pun berlari-larian sahaja kerana hari hampir petang. Sekejap berjalan sampailah ia kesimpang dua itu. Maka terlupalah ia akan pesan Mak ndeh itu lalu diikutnya jalan simpang kiri. Selang tiada berapa lamanya sampailah kerumah nenek gergasi itu. Maka nenek itu pun sedang tidur bertiga beranak dia dalam rumahnya. Maka Pak Pandir pun berdiri ditengah halaman rumah gergasi itu, lalu ia melaung, katanya Hai nenek Tok Sheikh Keramat, bangunlah! Andeh menyuruh kerumahnya, ia hendak kenduri.
Maka tiada juga jaga gergasi itu. Maka Pak Pandir pun bertempek dengan sekuat-kuat hatinya, katanya Hai Tok Syeikh Keramat, bangunlah lekas Andeh menyuruh kerumahnya makan kenduri. Maka tiada juga jaga gergasi itu. Maka Pak Pandir pun bertempek dengan sekuat-kuatnya, katanya, hai Tok Sheikh Keramat bangunlah lekas Andeh menyuruh kerumahnya makan kenduri.
Maka terjagalah gergasi itu ketiga beranak lalu bangun dengan gembiranya mengambil tongkat hendak memukul Pak Pandir. Katanya, ini sekali kenyanglah aku memakan manusia datang menyerahkan dirinya kepada aku. Maka Pak Pandir pun berkata, janganlah aku pula dimakan. Aku mengajak Tok Sheikh makan kenduri daging kerbau dengan nasi terlalu banyak dirumahku. Maka kata gergasi, sungguhkah seperti kata Pak Pandir itu? Jawab pak Pandir sungguh.
Maka kata gergasi, jikalau demikian baiklah dan jika tiada, nanti aku makan Pak Pandir pula. Jawab Pak Pandir, yalah. Maka nenek gergasi itu pun segeralah mengambil tongkatnya lalu turun berjalan dengan isterinya mengikut Pak Pandir dan anaknya tinggal menunggu rumah. Maka tiada berapa lamanya sampailah kerumah. Pak Pandir pun naik menyergahkan Mak Andeh, katanya, siaplah lekas Andeh, ini Tok Sheikh Keramat sudah datang dua laki bini. Mak Andeh pun pergilah melihat kepintu. Asal terpandang sahaja gergasi itu, ia pun gementarlah oleh ketakutan, serba salah fikirnya, hendak lari pun tiada boleh, seraya fikirnya, jika demikian berserahlah aku kepada dato-dato keramat disini. Jikalau nasib baik, dimanakan boleh jahat oleh perbuatan Pak Pandir celaka keparat ini?
Maka Mak Andeh pun bersiaplah menghamparkan tikar yang cantik lalu menyuruh gergasi itu naik. Maka gergasi kedua laki bini pun nailah kerumah. Maka Pak Pandir dan Mak Andeh pun berkata, makanlah nenek. Maka gergasi kedua pun muntahkan darahlah sehingga daging kerbau habis enam kawah dan nasi dua kawah, dan ia pun terbelahak, barulah ia berkata kepada Mak Andeh, wahai cucuku, berilah nenek sedikit makanan ini, hendak nenek bawakan anak nenek yang tinggal dirumah.
Maka kata Mak Andeh, baiklah nenek. Boleh cucu suruhkan Pak Pandir menghantari kerumah. Setelah itu, maka Pak Pandir pun pergilah menghantari anak gergasi u\itu nasi sebakul dan daging sekancah serta dipesan oleh Mak Andeh, katanya, jika tiada lalu ia makan sekarang, suapkanlah baik-baik, jangan disuapkan tulang kerbau itu pula.
Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Maka ia pun pergilah menjunjung bakul nasi dan daging itu serta serta tulang kaki kerbau itu sekerat. Hatta tiada berapa lamanya Pak Pandir pun sampailah kerumah gergasi itu. Didapatinya anak gergasi itu sedang dudk di muka pintu menantikan emak bapanya balik. Setelah Pak Pandir sampai, maka anak gergasi itu mengangakan mulutnya hendak makan Pak Pandir. Maka Pak Pandir pun segeralah menuangkan nasi dengan daging itu kedalam mulutnya. Demi dirasa oleh anak gergasi itu akan nyaman makanan itu lalu ditelannya sahajalah dan apabila lambat ia menelan diasak Pak Pandir mulutnya dengan tulang kerbau itu, dihentak-hentakkannya dengan bersungguh-sungguh hatinya mesuk kedalam tekak anak gergasi itu. Maka didalam hal yang demikian habislah nasi sebakul dengan daging sekawah disuapkan oleh Pak Pandir. Maka anak gergasi itu pun mati oleh tersangat kekenyangan.
Setelah dilihat oleh Pak Pandir anak gergasi itu sudah mati, maka ia pun berlarilah dengan bersungguh-sungguhnya. Maka kata Pak Pandir kepada Mak Andeh mana dia gergasi itu Andeh? Maka kata Mak Andeh bukankah ia sudah balik, tiadakah bertemu ngan awk dijalan tadi? Kata Pak Pandir, tiada aku berjumpa kerana aku mengikut jalan lain, oleh sebab anaknya sudah mati aku asak dengan tulang kerbau tadi. Sekarang baik kita lari, Andeh jangan ditunggu disini lagi, nanti dimakannya kita.
Setelah didengar oleh Mak Andeh akan perkataan Pak Pandir itu, maka sangatlah ketakutan hatinya hingga menggeletarlah tulanh sendinya serta dengan pucat mukanya, tiada ia terkata-kata lagi akan barang-barangnya serta lari keduanya. Kata Pak Pandir, kemana baik kita pergi ini, Andeh? Maka kata Mak Andeh, mari kita naik pelampung terap ini, kita menyeberang keseberang sungai ini.
Maka keduanya pun naiklah keatas pelampung itu, langsung menyeberang keseberang sungai. Telah sampailah keduanya dengan selamat sempurnanya lalu berdiam diri disana. Sebermula maka tersebutlah kisah gergasi berdua laki bini itu. Telah sudah habis makan ia pun berkabarlah kepada Mak Andeh hendak balik kerumahnya, lalu berjalanlah pulang keduanya. Maka dilihatnya akan anaknya sudah mati, penuh didalam mulutnya dengan nasi dan daging serta sekerat tulang kerbau tersengkang dimulutnya.
Maka keduanya pun bangkit marah dengan berangnya seraya bertempek lalu mengambil tongkang turun berkejar menuju kerumah Pak Pandir. Telah sampai dilihatnya pintu rumah itu terbuka lalu, dimasukinya kedalam rumah itu mencari serata-rata rumah itu, tiada juga orangnya, lalu diturunya jalan kesungai. Telah tiba ketepi sungai serta dilihat oleh Pak Pandir gergasi itu lalu berkata jangan nenek ikut aku, nenek aku tahu anak nenek sudah mati. Bukan aku sengaja, oleh aku hendak segera pulang, maka aku asak dia dengan tulang kerbau itu.
Setelah didengar oleh gergasi keduanya wah apatah lagi! Makin bertambah-tambahlah berangnya seraya berkata nantilah oleh kamu, aku makan dengan kulit tulang kamu sekali, tiada aku tinggalkan. Maka gergasi itu pun hendak terjun kedalam sungai kata Pak Pandir, jangan nenek hendak menyeberang kesini. Pergilah ambil tempayan besar dirumah cucu itu sebuji seorang, boleh nenek buat perahu menyeberang kemari. Demi didengar oleh gergasi akan kata Pak Pandir itu, keduanya pun berlari-larilah pula naik kerumah Pak Pandir mengambil tempayan dua buah, dibawanya turun kesungai itu. Maka kata Pak Pandir, masuklah nenek seorang sebiji kedalam tempayan itu. Kemudian tudung dengan daun birah supaya jangan masuk air. Maka diperbuatlah oleh gergasi kedua seperti pengajaran Pak Pandir itu. Setelah sudah masuk keduanya pun melonjak-lonjak diri didalam tempayan itu dan tempayan itu pun hanyutlah juga dibawa oleh air deras itu kepada suatu lubuk yang dalam.
Setelah dilihat oleh Pak Pandir, maka katanya oleng nenek oleng kuat-kuat. Maka kedua gergasi itu pun mengolenglah akan tempayan itu. Kemudian kata Pak Pandir, tumbuk, nenek tumbuk! Maka ditumbuklah oleh gergasi kedua akan daun birah tudung tempayan itu. Setelah daun itu pecah, maka air pun masuklah kedalam tempayan itu. Maka gergasi itu pun segeralah hendak keluar dari dalam tempayan itu, tetapi tiada sempat oleh hidungnya sudah penuh dengan air. Ia pun lemas dan tempayan itu pun berdebuk-debuk masuk air lansung tenggelam pada lubuk yang dalam itu. Maka gergasi kedua pun matilah.
Telah dilihat oleh Pak Pandir dengan Mak Andeh akan gergasi itu sudah tenggelam, maka kata Pak Pandir, kemana pula kita ni Andeh? Kata Mak Andeh marilah kita balik kerumah kita kerana gergasi itu pun sudah mati. Maka keduanya pun turunlah kepelampung terap lau menyeberang kembali kerumahnya. Telah sampai, kata Mak Andeh, marilah kita pergi kerumah gergasi itu kalau apa-apa hartanya yang ada boleh kita ambil. Maka kata Pak Pandir, lekas-lekas Andeh kalau orang lain pergi dahulu tentulah habis dipapasnya, kita melepas sahaja. Maka keduanya pun berjalanlah. Tiada berapa lamanya lalu sampailah kerumah itu. Maka dilihat oleh Mak Andeh bangkai anak gergasi itu terkangkang sahaja di muka pintu serta dengan buruk dan bengis lakunya. Maka Mak Andeh pun ketakutan. Maka kata Pak Pandir, mari Andeh apa pula yang ditakutkan? Ia sudah mati.
Maka keduanya pun naiklah kerumah itu mengambil anak kunci membuka bilik-bilik gergasi itu. Pada mula dibukanya yang pertama itu dilihatnya penuhla dengan tulang binatang dan tulang manusia serta rambut dan bulu bertimbun-timbun terlalu banyaknya. Maka dibukanya pula bilik yang kedua, teramatlah sukacita Mak Andeh melihatkan sekalian barang-barang emas gergasi itu daripada agok, dokoh, subang, gelang, keroncong serta lain-lain terlalu banyak.
Maka kata Pak Pandir, apa namanya ini Andeh? Maka kata Mak Andeh, inilah segala harta gergasi itu, semuanya emas. Sekarang menjadi rezeki kitalah ini. Marilah kita angkut pulang kerumah kita. Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Maka Mak Andeh pun memungut sekalian perkakasan itu. Dimasukkan kedalam kain selendang lalu didukungnya seberat-berat ia membawa. Pak Pandir pun demikian juga. Setelah itu, MakAndeh pun pergi kedapur. Dilihatnya segala periuk dan belanga gergasi itu semuanya emas. Itu pun dipapasnya juga. Demikianlah empat kali Pak Pandir dengan Mak Andeh berangkut ulang alik barulah habis semuanya. Maka rumah gergasi itu pun dibakarnya. Telah itu Pak Pandir keduanya pulanglah kerumahnya dengan terlalu suka hatinya kerana beroleh harta terlalu banyak itu. Lalu disimpan oleh Mak Andeh kedalam kembung padi, disitu tempat ia menyembunyikan hartanya yang baik-baik. Setelah itu, hari pun malamlah dan Pak Pandir kedua pun tidur dengan kesukaannya. Hatta pada keesokan harinya kata Mak Andeh, pergilah awak Pak Pandir membeli padi, jangan pula dibeli hampa beratnya. Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Maka ia pun pergi membawa wang dua rial dan karung sebiji. Selang tiada berapa lamanya sampailah ia kesebuah ladang orang dan pada masa itu yang empunya ladang itu pun sedang mengaingin padi membuang hampa. Maka Pak Pandir pun sampailah kepada mereka itu seraya bertanya. Katanya dijualkah padi ini? Maka kata orang itu, kalau kena harganya, dijual juga. Kata Pak Pandir, berilah saya membeli hampa beratnya itu. Maka kata mereka yang empunya itu, ambilah tak usah membeli.
Jawab Pak Pandir, nah ambillah wang diberi oleh Andeh dua rial ini. Lalu diletakkan dihadapan orang itu. Maka dibubuhkan oranglah hampa beratnya itu kedalam karung Pak Pandir dan wang itu pun diterimlah oleh tuan padi itu. Maka Pak Pandir pun memikul hampa padi itu dibawanya pulang. Maka pada pertengahan jalan itu bertemulah ia denga sungai, kerana pulang itu jalan yang lain diikuti oleh Pak Pandir. Dilihatnya terlalu banyak semut meniti pada suatu ranting kayu yang kecil menyeberang sungai itu. Maka Pak Pandir pun hendak menyeberang juga dan titian yang lain pun tiada. Kemudian fikir Pak Pandir, sedangkan semut itu yang beribu-ribu lagi tahan melalui dari atas kayu ini, apatah pula aku yang seorang. Karung hampa ini pun bukan berapa beratnya. Kalau begitu baiklah aku meniti bersama semut itu.
Setelah itu, Pak Pandir pun menitilah. Apabila dipijaknya sahaja ranting itu pun patahlah, tiadalah bertangguh lagi. Pak Pandir pun jatuhlah kedalam air bersama-sama dengan karung padi itu, lenyap sekali. Telah dirasai oleh Pak Pandir dirinya terjatuh itu, ia pun berenanglah naik kedarat dengan basahnya dan karung itu pun hanyutlah kehilir, dipandang sahaja oleh Pak Pandir, hendak diambilnya sudah jauh. Kemudian ia pun menharung air sungai itu lalu pulang kerumahnya dengan menggeletar oleh kesejukan.
Setelah sampai, ia pun meminta kain pada Mak Andeh. Katanya Andeh berilah aku kain. Aku terlalu sejuk ini. Maka kata Mak Andeh, apa pula kenanya awak? Kata Pak Pandir aku jatuh lalu diceritakannya segala perihalnya dari awal hingga keakhirnya. Maka kata Mak Andeh apa awak beli tadi? Jawab Pak Pandir, Andeh kata beli hampa padi yang berat. Wah Mak Andeh pun apa hendak dikata lagi. Terdengarlah sumpah seranahnya akan Pak Pandir serta dilutunya umpama tebuan pecah sarangnya, seraya kata Mak Andeh, bukankah sudah aku pesan jangan dibeli hampa berat? Padinya yang bernas minta oleh Pak Pandir. Kata Pak Pandir, entahlah aku tak tahulah. Tadi aku dengar kata Andeh menyuruh beli hampa berat. Itulah aku cari yang demikian.
Setelah itu Mak Andeh pun diamlah, tiada terkata-kata lagi kerana pada fikiran Mak Andeh, aku juga yang salah menyuruh si bodoh ini. Hatta sekali peristiwa, pada suatu hari kata Mak Andeh kepada Pak Pandir, hai Pak Pandir, apatah hal kita ini tersangatlah lamanya kita tiada pernah kenduri akan dato nenek dan kaum keluarga dan anak buah kita yang telah mati. Maka kata Pak Pandir, pergilah Andeh bawakan sekalian buah-buahan dan tebu, pisang, ubi keladi dan korek kuburnya, masukkan supaya dimakan olehnya.
Maka ujar Mak Andeh, bukannya demikian. Ada pun orang mati itu bukan dia berkehendakkan makan lagi, hanya yang boleh kita tolongi dengan kenduri iaitu meminta doa kepada Allah ta`ala barang di anugerahnya akan mereka itu tempat yang kebajikan. Kata Pak Pandir, kalau begitu apa tahu oleh Andeh, buatlah aku tak tahu. Kemudian kata Mak Andeh, baiklah tetapi pada masa ini semuanya perkakas ada berlaka, hanya yang tiada garam sahaja. Pergilah awak mencari garam kekampung, bawa keladi dan ubi ini tukarkan.
Jawab Pak Pandir, baiklah. Arakian, maka ia pun pergilah membawa ubi keladi, tebu dan pisang menuju kekampung orang. Tiada berapa lamanya ia pun sampailah. Maka banyaklah tingkah lakunya yang jenaka dipermainkan oleh orang kampung akan dia oleh bingungnya itu. Terlalu suka orang mengusik akan Pak Pandir sehingga latahlah ia. Pak Pandir pun berjalanlah memikul garam sekarung.
Hatta, setelah Pak Pandir sampai pada separuh jalan, ia pun berasa senak perutnya hendak buang air oleh banyak makan lemak dan manis diberi orang-orang di kampung tadi. Kemudian Pak Pandir menyimpang masuk kedalam semak lalu diletakkannya sumpit garam itu itu di hadapannya. Dengan seketika itu juga datanglah fikiran nya yang ahmak, lalu katanya, wah salah sekali pekerjaanku ini. Sekiranya kalau datang sesuatu kemalangan bagi diriku entah binatang datang mengejar, atau menerkam aku, bukankah sia-sia sahaja aku lari, karung garamku tinggal oleh terperanjat.
Maka diubahnya ketempat lain serta dilindungkannya di balik semak-semak itu. Kemudian ia pun berbalik ketempat yang mula-mula tadi lalu direnungnya kepada karung itu. Nampak juga kepadanya. Maka berkata pula ia, ini pun suatu pekerjaan yang kurang akal juga. Siapa tah? Kalau-kalau ada orang lalu dialehnya pula ketempat asing diperbuatnya seperti hal yang lalu tadi, selagi nampak diubahnya juga.
Hatta, lima enam kali diubahnya, kemudian timbul pula suatu ingatannya yang berlainan seraya katanya, ceh, bodoh sekali aku ini. Jikalau aku sembunyikan kedalam air tentu tiada siapa dapat melihatnya. Telah tetaplah fikiran Pak Pandir yang demikian lalu diambilnya karung garam itu, dibawanya pergi mencari tempat yang berair hingga beratus-ratus depa jauhnya barulah ia bertemu dengan suatu anak sungai. Maka karung garam itu pun dibenamkan oleh Pak Pandir kedalam sungai itu. Maka ia pun berjalanlah jauh sedikit lalu direnungnya sumpit garam itu, baru tak nampak lagi kepadanya, seraya ia berkata, sekarang barulah puas rasa hatiku menyembunyikan garamku itu, tiada apa pun yang kelihatan lagi.
Kemudiaan ia pun pergilah kadha hajat. Telah sudah baharulah ia mengambil pula akan karung garamnya itu. Tetapi apalah gunanya lagi, oleh semuanya sudah pulang keasalnya. Maka dibawalah oleh Pak Pandir karung itu dengan tergopoh-gopoh hendak segera tiba dirumahnya. Hatta serta sampai, maka ditunjukkannyalah kepada Mak Andeh. Serta dilihatnya air turun seperti hujan daripada karung itu, seraya ia bertanya, air apa ini? Di mana garam yang awak cari tadi?
Maka jawab Pak Pandir, itu bukankah garam? Maka kata Mak Andeh, garam apa yang seperti air ini? Maka oleh Pak Pandir diceritakannyalah segala perihal dari awal hingga keakhir. Maka Mak Andeh pun kenyang tak makanlah oleh perangai Pak Pandir keparat itu. Hanya diamlah ia tiada berkata-kata lagi sambil menyudahkan kerjanya, lalu ia bersumpah didalam hatinya bahawa sekali-kali tiadalah ia mahu menyuruh Pak Pandir sebarang apa pekerjaan, biarlah ia membuat sendirinya. Setelah Mak Andeh tiada mahu lagi menyuruh Pak Pandir membuat sebarang apa pekerjaan, maka ia pun pergilah membawa dirinya sendiri dan membuat kerja mengikut sukanya. Maka pada suatu hari Pak Pandir pun mengambil goloknya pergi menebang buluh, diperbuatnya lukah. Telah sudah lalu ditahannya kepada suatu alur didalam redang. Sudah itu Pak Pandir pun pulanglah kerumah makan minum dengan Mak Andeh.
Setelah malam hari keduanya pun tidur, dan pada keesokan hari pagi-pagi Pak Pandir pun mencapai goloknya lalu pergi melihat lukahnya. Serta sampai lalu diangkatnya tiada terangkat oleh terlalu banyak ikannya. Maka dikuat-kuati juga oleh Pak Pandir, barulah terangkat olehnya, dibawa naik keatas tebing anak air itu lalu ducurahkannyalah sekalian isi bubunya itu, ikan limbat serta diketuk oleh Pak Pandir dengan goloknya. Telah mati barulah disiangnya dan di basuh serta ia memperbuat salai. Dinyalakan apinya, dan ikan-ikan itu pun diaturnya diatas penyalai.
Maka api pun dijadikanlah oleh Pak Pandir dengan bersungguh-sungguh hatinya. Diangkutnya sekalian kayu yang besar2 akan kayu apinya. Seketika lamanya ikan salai itu pun tampillah meratah salai itu dua ekor sesuap, empat ekor sesuap dimakannya hingga habislah ikan itu sekerat penyalai barulah Pak Pandir berhenti. Maka ikan yang tinggal lagi dimasukkannya kedalam karung lalu dibawanya memanjat keatas pokok kayu, digantungnya karung itu kepada dahan kayu. Telah sudah, ia pun turun langsung pergi minum air serta menahan lukahnya.
Maka hari pun hampir petang. Pak Pandir pun pulanglah kerumahnya. Telah sampai, maka Mak Andeh pun bertanya. Katanya kemana awak pergi tadi turun pagi-pagi petang barulah balik? Apa awak buat? Maka sahut Pak Pandir dengan tersipu-sipu, katanya tiada kemana aku pergi, Andeh. Aku berjalan Cuma-Cuma sahaja merata-rata hutan itu hendak mencari makan, suatu apa pun tidak kuperoleh.
Maka kata Mak Andeh. Membuat penat sahaja Pak Pandir merayau segenap hutan itu. Baiklah makan harta kita yang ada ini cukup. Bukannya kita ada beranak cucu, apatah yang disusahkan mencari kesanan kemari lagi? Maka kata Pak Pandir, aku tiada mahu makan harta andeh lagi, kerana Andeh tak mahu menyuruh aku lagi. Biarlah aku membuat hal aku seorang dan Andeh pun buatlah kerja Andeh sorang, usah dihiraukan hal aku.
Maka jawab Mak Andeh, bukannya aku tiada mahu menyuruh Pak Pandir. Sebab aku kasihan akan awak kerana tiap-tiap barang apa yang aku suruhkan itu tak pernah sudah dengan sekali, sampai dua tiga kali baru jadi. Oleh yang demikian tersangatlah penat awak aku lihat dan aku pun menjadi sia-sia sahaja menyuruh orang yang tiada tahu. Itulah sebabnya. Janganlah awak syak dan berkecil hati akan aku. Biarlah aku buat sendiri.
Hatta telah didengar oleh Pak Pandir akan kata Mak Andeh itu, ia pun diamlah dengan masam mukanya tiada berkata-kata. Seketika lagi hari pun malam. Keduanya pun tidurlah. Telah keesokan harinya Pak Pandir pun tiada khali lagi melihat lukahnya. Ikan-ikannya yang dapat semua disalainya. Serta masak sahaja ia pun meratahlah hingga tinggal separuh barulah ia berhenti dan yang lebihnya itu dimasukkannya kedalam karung, digantungkannya pada pohon kayu itu juga. Telah hari petang ia pun pulang. Demikianlah perbuatan Pak Pandir pada setiap hari, meratah ikan salai dengan bersembunyikan daripada Mak Andeh, tiada pernah dibawanya pulang kerumah.
Maka dengan takdir Allah, lukahnya itu pun tiadalah mahu mengena lagi, beberapa dialih dan ditahannya tiada juga mahu kena lagi, tetapi Pak Pandir tiada khuatir darihal meratah ikan kerana ikan salainya masih ada lagi separuh karung bergantung pada pohon kayu itu. Maka itulah kerjayanya berulang meratah salai itu pada setiap hari keatas pohon kayu itu.
Maka tersebutlah pula kisah Mak Andeh yang tiap-tiap hari tinggal menunggu rumah seorang dirinya seraya ia berfikir, apa gerangan kerja Pak Pandir hilang sehari-hari tiada berselang ini? Jikalau begitu, baik aku pergi mengintai akan dia.
Maka Mak Andeh pun mengambil candungnya lalu pergi mengikut jalan Pak Pandir itu. Tiada berapa lamanya sampailah Mak Andeh ketempat penyalai Pak Pandir itu seraya ia mengendap-endap di dalam hutan itu serta memperhatikan Pak Pandir. Maka dengan takdir Allah ta`ala nampaklah kain Pak Pandir tersangkut diatas pohon kayu itu, lalu kelihatanlah Mak Andeh akan Pak Pandir duduk tercapak pada dahan kayu itu sedang meratah ikan salai. Maka nampaklah karung salainya tergantung seperti sarang tempua. Telah nyatalah dilihat oleh Mak Andeh ia pun baliklah kerumahnya bertanak nasi lalu makan sorang dirinya sambil berfikir didalam hatinya, itulah rupanya akal Pak Pandir bedebah itu. Baiklah mana-mana dayaku hendak ku ambil juga ikan salainya itu.
Telah ia sudah makan lalu berbaring dimuka pintu. Seketika lagi hari pun petang. Mak Andeh pergi mengambil air kesungai. Maka Pak Pandir pun pulanglah oleh sudah kenyang meratah ikan salai itu habis dua karung, langsung ia pergi mandi kesungai serta naik kerumah, dan Mak Andeh pun menyediakan nasi lalu mengajak Pak Pandir makan. Maka kata Pak Pandir, makanlah Andeh dulu,aku sudah kenyang makan buah-buahan kayu didalam hutan tadi.
Sahut Mak Andeh, awak makan buah-buahan haram tak mahu membawanya aku barang sebiji. Maka kata Pak Pandir, perasaan aku Andeh tak suka makan buah-buahan kayu hutan. Lainlah aku orang sudah biasa tinggal bersama-sama dengaan lotong dan kera. Dari sebab itulah tiadalah kubawakan, besok boleh aku bawakan pula.
Maka Pak Pandir pun berbaringlah di tengah rumah sambil berdikir-dikir. Maka kata Mak Andeh, apa yang awak takut sekali? Sahut Pak Pandir, aku? Apa pun tiada kutakuti, harimau, gajah, badak, beruang, singa, beruk, dan hantu semuanya boleh ku cundangi, tetapi Andeh, ada suatu binatang sahaja yang terlalu kutakuti.
Maka kata Mak andeh apa namanya yang awak takuti itu? Cubalah katakan. Maka Pak Pandir hai Andeh jangankan binatangnya, namanya sahaja pun aku takut. Tidaklah Andeh tiada berani aku menyebutnya. Maka kata Pak Pandir ayuhai Andeh, sahajalah sebab Andeh menyuruh juga, kalau tidak mati dibunuh tidak aku mahu berkabar. Namanya binatang itu tok tok kai. Hai Andeh seram rasa badan dan kembang tengkuk aku hendak menyebut namanya.
Maka kata Mak Andeh, langsungkanlah Pak Pandir maka sahut Pak Pandir, itulah dia binatangnya yang selalu berbunyi.
Tok-tok kai serondung batang,
Dimana hinggap?
Ditengah belakang
Itulah dia binatangnya yang sangat kutakuti, Andeh. Maka kata Mak Andeh, kalau binatang itu, tidaklah mengapa sangat tetapi aku pun takut juga rasanya. Setelah itu kedua-duanya pun tidurlah. Telah keesokan harinya pagi-pagi, maka Pak Pandir pun pergilah kepohon kayu salainya itu. Serta sampai ia pun memanjatlah lalu meratah salainya itu empat lima ekor sekali suap.
Ada pun akan Mak Andeh telah dilihatnya Pak Pandir sudah pergi maka ia pun bersiaplah pula pergi mengikut Pak Pandir perlahan-lahan. Serta ia sampai dilihatnya Pak Pandir sedang meratah ikan salai diatas pohon itu. Maka Mak Andeh pun naiklah keatas suatu tunggul yang bertunas. Disitulah Mak andeh berlindung, tiadalah nampak kepada Pak Pandir. Maka Mak Andeh pun berbunyilah seperti bunyi binatang yang sangat ditakuti oleh Pak Pandir itu:
Tok-tok kai serondung batang
Di mana hinggap?
Di tengah belakang
Wah serta terdengar oleh Pak Pandir bunyi itu, ia tak sedar lagi mencampakkan dirinya dari atas pohon itu serta dengan jerit pekiknya, tiada terkira lagi larinya langsung masuk kedalam hutan rimba raya itu hingga habislah segala tubuhnya di cangkuk oleh sekalian onak dan duri, berlumur dengan darah dan kain bajunya pun habis koyak rabak. Maka ia lari itu haram tiada menoleh lagi kebelakang. Setelah dilihat oleh Mak Andeh kelakuan Pak Pandir itu, maka makinlah sangat diperbuatnya lagi bunyi itu dengan sekuat-kuatnya. Maka didengar oleh Pak Pandir, pada perasaan nya binatang itu sudah hinggap dibelakangnya sahaja. Ia pun makinlah sangat kuat larinya.
Arakian, telah Pak Pandir sudah lepas, maka Mak Andeh pun pergilah memanjat pohon kayu tempat Pak Pandir terjun itu lalu diambilnya sekalian ikan salai Pak Pandir itu, dibawanya pulang, disembunyikannya dibawah kawah. Seketika lagi hari pun petanglah. Mak Andeh pun menyiapkan nasi Pak Pandir. Dinanti-nantinya tiada juga Pak Pandir balik. Hatta, tersebutlah pula kisah Pak Pandir lari tadi. Hingga beberapa jauhnya ia pergi baharulah hilang pendengarannya bunyi “ Tok tok kai serondong batang “ itu. Maka ia pun berhentilah sedikit oleh teramat penat dan jerehnya, serta ia berjalan perlahan-lahan pula ikut sekehendak kakinya. Dengan takdir Allah ta`ala teruslah Pak pander pulang kerumahnya, sudah pasang dammar, dengan bertelanjang bulat, seurat benang pun tiada berkain, lalu ia meneriak Mak Andeh. Katanya Andeh, Andeh berilah aku kain kerana aku sudah bertelanjang bulat.
Maka Andeh pun pura-pura membuat marah akan Pak Pandir, dengan tutur nistanya dan carut-capainya akan Pak Pandir seraya membuka pintu. Maka dilihatnya Pak Pandir bercekup kemaluan dengan tangan sahaja. Maka Mak Andeh pun berkata, kena apa Pak Pandir demikian kelakuan seperti orang gila pula?
Maka ujar Pak Pandir, itulah Andeh, malam tadi kularangkan jangan disebut nama binatang yang aku takut itu, nyaris lagi aku tidak dimakannya sekadarkan dikejarnya sahaja. Lihatlah badan aku calar- balar di makan oleh duri, habis luka seluruh tubuhku ini. Maka Mak Andeh pun tertawa didalam hatinya sahaja melihatkan hal Pak Pandir itu, lalu segera diberinya kain. Setelah Pak Pandir berkain, barulah ia naik kerumah serta dibuangkan oleh Mak Andeh segala duri yang ada pada tubuh Pak Pandir, lalu dibubuhnya ubat pula, dan Pak Pandir pun demam. Maka oleh Mak Andeh dihantarkannya, nasi kehadapan Pak Pandir lalu makanlah ia.
Telah selesai daripada itu, keduanya pun tidurlah. Telah datang keesokan hari, Mak Andeh pun bangunlah bertanak nasi, seraya dikeluarkannya ikan salai itu empat ekor, dua diberikan kepada Pak Pandir dan dua di tindihnya dibawah pehanya. Maka Pak Pandir. Maka Pak Pandir pun mengisut pergi makan. Keduanya pun makanlah. Maka Pak Pandir makan baharu dua tiga suap, ikan salainya pun sudah habis. Maka kata Pak Pandir, Andeh, Andeh berilah aku lauk sedikit. Lauk aku sudah habis.
Maka jawab Mak Andeh, ku pun sudah habis juga. Ujar Pak Pandir, ada ku tengok di bawah di bawah paha Andeh itu. Kata Mak Andeh, yang aku makan ini daging paha aku, bukannya ikan salai. Maka Pak Pandir pun segeralah mengambil goloknya menghiris daging pahanya serta dibakarnya, diperbuatnya lauk. Telah dilihatnya oleh Mak Andeh akan kelakuan Pak Pandir itu tersanglah heran dihatinya. Lepas makan Pak Pandir pun makin sangat demamnya, bertambah oleh bentan luka yang diirisnya itu. Kemudian diubati Mak Andeh segala luka Pak Pandir itu. Tiada berapa lamanya dengan takdir Allah ta`ala, sekalian penyakit Pak Pandir itu pun sembuhlah seperti sediakala.
Sekali peristiwa. Pak Pandir pergi hendak melihat ikan salainya yang tertinggal lagi itu. Maka beberapa kali dicubanya hendak pergi ketempat itu tiada juga berani oleg disangkanya kalau-kalau ada lagi binatang yang hinggap di tengah belakang itu mengendapkan dia disitu. Maka dengan hal yang demikian tiadalah jadi Pak Pandir pergi kesitu, lalu Pak Pandir pergi mencari getah kayu lembu jawa kedalam hutan yang lain. Telah dapat lalu dibawanya pulang ke rumahnya serta dimasaki di campurkan dengan ramuan yang lain. Telah sudah dimasukkannya kedalam tabung buluh getah itu. Maka Pak Pandir pun berjalanlah membawa getah setabung bersama dengan puris nyior secekak, masuk kedalam hutan mencari tempat yang banyak burung hinggap.
Ada seketika bertemulah Pak Pandir sepohon ara yang terlindung rending serta dengan lebat buah-buahan sedang masak. Maka banyaklah sekalian burung-burung berhimpun memakan buah itu. Maka terlalulah sukacita Pak Pandir, seraya ia berfikir, sekalian ini paksa terkukurlah mendapat padi rebah. Tak dapat aku makan ikan tak usahlah asalkan aku kenyang makan burung pula sudahlah.
Maka Pak Pandir pun segeralah memanjat pohon ara itu menahan getah pada segenap dahan dan ranting pohon itu. Setelah sudah ia pun turun bersembunyikan dirinya. Ada seketika datanglah beberapa bangsa kawan burung hinggap ke pohon itu memakan buahnya. Maka terkenalah pada getah Pak Pandir, ada yang kena pada kakinya ada yang pada sayapnya, berbagai-bagai lalu jatuh ketanah. Maka dipungut oleh Pak Pandir, diikatnya dengan tali, lalu dibelitnya pada pinggangnya.
Demikianlah diperbuat oleh Pak Pandir hingga lima enam ratus ekor berbelit-belit tali itu pada seluruh tubuhnya, dan diikatkannya pula pada paha dan kaki tangan serta kepalanya sehingga tubuhnya tiada kelihatan lagi diliputi oleh sekalian burung-burung itu. Demi dirasa oleh sekalian burung itu ia telah terikat kakinya, maka ia pun menggelupurlah mengembangkan sayapnya lalu terbang.
Maka Pak Pandir pun diterbangkannyalah keatas udara, beberapa kali Pak Pandir hendak berlepas diri tiada juga dapat. Kemudian ia pun mendiamkan dirinya, barang kemana diterbangkan oleh burung itu sahaja. Maka hari pun telah malamlah, dan bulan pun terang cuaca empat belas hari bulan.
Maka dengan takdir Allah ta`ala Pak Pandir diterbangkanlah oleh burung-burung itu pun sampailah kekampung Raja Shah Malim. Telah dilihat oleh kundang-kundang baginda itu, masing-masing pun terkejutlah, ia berlari-lari kesana kemari, kerana sangka mereka tentu jin hantu atau dewa-dewa mambanglah yang boleh terbang demikian itu. Seketika lagi burung itu pun letihla lalu terjatuh keatas kebumbung istana Raja Shah Malim itu. Maka Pak Pandir pun terlalu sakit segala sendi anggotanya oleh terhempas keatas bumbung itu. Dalam pada itu ia pun teringat akan goloknya, lalu ditetasnya sekalian tali ikatan burung-burung yang merata tubuhnya itu. Maka sekalian burung-burung itu pun habislah terbang, mana-mana yang telah letih jatuh berkaparan ketanah.
Telah sudah Pak Pandir pun berseru dengan nyaring suaranya. Demikian bunyinya, padam dammar, padam pelita, Raja Mambang hendak turun, hingga tiga kali berturut-turut demikian bunyinya juga.
Maka kedengaranlah kepada inang pengasuh Tuan Puteri Dang Lela. Maka segeralah di persembahkannya kepada baginda. Maka titah baginda, jikalau demikian bersedialah kamu sekalian, aku hendak mengambil Raja Mambang itu itu akan menantuku, kerana aku pun telah berniat dari dahulu hendak bermenantukan dia.
Maka sekalian inang pengasuh Tuan Puteri itu berhadirlah, dan baginda pun lalu turun ketanah dengan sekalian budak kundangnya melihat keatas bumbung istananya bahawa sesungguhnya adalah seorang orang terdiri diatas bumbung itu. Maka titah baginda, ambillah tangga. Dirikan disini supaya ia turun.
Setelah sudah maka baginda sendiri menyeru, katanya Ya anakku, Raja Mambang, silalah tuan turun mendapatkan ayahdanya.
Maka Pak Pandir keparat pun turunlah mengikut tangga itu mendapatkan baginda. Maka dibawa oleh baginda, diserahkan kepada inang pengasuh Tuan Puteri, disuruh sintuk limau, bedak langir akan Raja Mambang itu. Telah sudah lalu diakad nikahkan oleh baginda sendiri dengan anakanda baginda Tuan Puteri Dang Lela didalam gelap buta itu juga, kerana Raja Mambang ini tiada boleh dikenai oleh sinar api. Telah sudah kawin lalu dibawa masuk kedalam pelaminan. Maka Tuan Puteri pun lari keluar duduk bersama dengan inang pengasuhnya. Beberapa dipujuk oleh inang dan dayang tiada juga Tuan Puteri mahu masuk beradu dengan Raja Mambang itu.
Hatta, selang tiada berapa lamanya hari pun siang, hujan turun rintik-rintik. Maka Pak Pandir pun bersandarlah kepada bantal besar sambil merungut perlahan-lahan. Katanya, aduhai, hujan atang ini alau ada Andeh akar isang alangkah sedap ulutku. Maka lama hujan itu pun bertambah lebatnya, demikian juga rungut Pak Pandir. Lama kelamaan kedengaranlah rungut Pak Pandir itu kepada inang pengasuh Tuan Puteri, lalu dipersembahkanlah kepada baginda.
Demi didengar oleh baginda, apatah lagi, murkalah baginda, lalu bertitah kepada budak kundangnya menyuruh kuliti kepala Pak Pandir bedebah itu dari tengkuk serkupkan kemukanya kerana ia mengaku dirinya Raja menipu baginda terlalulah bengisnya baginda. Maka dikerjakanlah oleh budak-budak kundang itu seperti titah rajanya. Masuk mereka kedalam bilik peraduan Tuan Puteri menangkap Pak Pandir, ditariknya turun ketanah. Maka Pak Pandir pun terkejut lalu menangis sambil meneriak Mak Andeh meminta tolong. Maka dikerjakan orang juga seperti titah baginda itu. Telah sudah lalu dibuangkannya Pak Pandir kedalam hutan. Setelah itu mereka itu pun pulanglah lalu dipersembahkan kepada baginda segala hal itu. Maka baginda pun beberapa menanggung dukacita dan kemaluan kena tipu oleh Pak Pandir itu, lagipun baginda tiada dengan usul periksanya mengambil Pak Pandir dikahwinkan dengan Tuan Puteri anak baginda itu.
Maka tersebutlah perkataan Pak Pandir. Telah dibuangkan orang kedalam hutan, maka ia pun menangis oleh terlalu sangat lapar dan dahaganya serta dengan letih lesunya pula, sambil berjala. Tiada beberapa lamanya dengan takdir Allah ta`ala, sampailah balik rumahnya. Maka pada masa itu Mak Andeh pun sedang duduk dimuka pintu. Serta ia melihat Pak Pandir ia pun bertanya, apa kena awak, Pak Pandir seperti rupa orang yang kesakitan kulihat ini dan kulit kepala pun terserkup kemuka?
Maka jawab Pak Pandir, inilah rupa tanggungan aku Andeh. Lalu diceritakannya daripada awal hingga keakhirnya. Maka Mak Andeh pun terlalulah amat marahnya akan Pak Pandir, lalu dibawanya naik kerumah, dibetulkannya kulit kepala Pak Pandir itu, dibubuhnya ubat, dibungkusnya dengan kain. Maka Pak Pandir pun berbaringlah mengidapkan lukanya itu kira-kira dua bulan tiada pergi kemana lagi.
Didalam hal yang demikian itu, luka Pak Pandir pun sembuhlah sekaliannya. Maka ia berkata kepada Mak Andeh minta perbuatkan perbekalan, kerana ia hendak menumpang barangsiapa yang hendak belayar, oleh terlalu ingin rasanya hendak melihat negeri orang. Maka Mak Andeh pun membuatlah penganan daripada wajek dan dodol serta lain-lainnya kira-kira dua belas buyung penuh semuanya lalu disimpan diatas para.
Setelah sudah maka kata Mak Andeh , bila awak akan pergi? Aku hendak pergi mencari sayur-sayur kedalam repuh itu. Maka kata Pak Pandir, sekaranglah juga aku hendak pergi? Aku hendak pergi mencari sayur-sayur kedalam repoh dan didalam tujuh hari ini apabila berbunyi bedil dikuala, alamat aku akan sampailah dari belayar. Siap-siaplah Andeh, sapu sampah dan buang sekalian sawang sarap diatas rumah kita ini.
Setelah ia berpesan,maka Mak Andeh pun memberikan wang seratus rial itu kepada Pak Pandir dan ia pun lalu pergi mencari sayur. Maka Pak Pandir pun berkemaslah naik keatas para tempat buyung penganan itu lalu dimakannya habis dua buyung. Ia pun berdiamkan dirinya. Seketika lagi Mak Andeh pun baliklah lalu bertanak dan menyayur serta makan sambil merungut, sudah belayar agaknya Pak Pandir tadi.
Maka seketika lagi hari pun malamlah. Maka Mak Andeh tidur seorang dirinya. Maka tersebutlah perkataan Pak Pandir yang memakan kuih itu habis sebuyung pula. Maka bibir mulutnya pun habis dimakan oleh tikus, ia menderita sahaja, lama-lama habislah bibir atas dan bibir bawah oleh dicium tikus itu berbau lemak dan manis. Itu pun tiada juga Pak Pandir hiraukan. Ia makan juga hingga terseringing tinggal gusi sahaja.
Hatta, telah genaplah tujuh hari, dengan takdir Allah ta`ala. Pak Pandir pun bersin yang teramat kuat. Maka Mak Andeh pun berfikir. Iaitu tentulah bunyi bedil dikuala. Lalu ia pun segeralah menyapu sampah dibawah dan diatas rumah. Kemudian Mak Andeh pun membuang sawang-sawang yang ada para itu. Maka terkejutlah Pak Pandir seraya melompat, katanya, aku Andeh, bukan siapa. Lalu ia menjengukkan mukanya kepada Mak Andeh seraya berkata. Hai andeh tengok igi ada ibir tidak.
Asal terpandang sahaja sumpah seranahlah akan Pak Pandir lalu dipalunya dengan penyapu. Maka Pak Pandir pun turunlah dari atas para seraya berkata, igi ada, ibir tidak juga kepada Mak Andeh serta dijeringing-jeringingkannya mulutnya. Maka bertambah-tambah dahsyat Mak Andeh melihatnya oleh terlalu buruk rupanya.
Arakian pada suatu hari kata Mak Andeh, aku hendak membuat huma Pak Pandir, tunggulah oleh awak rumah kita ini. Maka kata Pak Pandir, aku hendak sama juga menebang dan menebas dengan Andeh. Kata Mak Andeh baiklah.
Maka kedua-duanya pun pergi bekerja dari pagi-pagi. Setelah tengah hari keduanya pun berhentilah di pondok. Maka kata Mak Andeh kepada Pak Pandir, pergilah awak pulang kerumah, mengambil api boleh kita bertanak disini. Susah hendak balik kerumah, terlalu jauh.
Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh , tetapi bakarlah aku pisang dahulu. Maka kata Mak Andeh ialah pergi Pak Pandir ambil api dahulu.
Maka jawab Pak Pandir, aku tak mahu, kalau Andeh tidak membakarkan pisang, tidaklah aku hendak sekali-kali. Demikianlah bertolo-tolo Pak Pandir dengan Mak Andeh. Maka oleh terlalu geram hati Mak Andeh diambilnya pisang muda dua butir, lalu dilegamlah rupa pisang itu. Kemudian diunjukkannya kepada Pak Pandir. Katanya, nah lantak sungguh-sungguh.
Maka diambillah oleh Pak Pandir akan pisang itu lalu turun berjalan hendak mengambil api kerumah. Maka dikoyaknyalah kulit pisang itu, dilihatnya pisang itu betul-betul tidak masak dan dimakannya kelat pula. Maka Pak Pandir pun menangislah seraya katanya, hoi, hoi Andeh akar isang angus aja asak idak. Sambil ia berjalan juga sampai kerumah lalu mengambil api serta ia balik kehuma mendapatkan Mak Andeh dengan tangisnya menunjukkan pisang itu. Katanya Andeh akar isang angus aja asak idak. Demikianlah beberapa kali.
Maka Andeh mendengarkan rungut Pak Pandir itu mengkal sahajalah didalam hatinya, hendak tertawa takut kalau-kalau Pak Pandir marah. Maka kata Mak Andeh, baiklah, boleh ku bakarkan yang lain, jangan bising, Pak Pandir. Setelah sudah Mak Andeh menghidupkan api lalu ia bertanak dan sambilnya juga membakar pisang Pak Pandir. Telah masak, diunjukkan kepada Pak Pandir pisang itu, sedan panas-panas lagi dua tiga butir. Maka disambut oleh Pak Pandir lalu dimakan dengan tak sempat berkupas kulitnya lagi ditelannya bulat-bulat. Setelah pisang itu sampai kedalam perut Pak Pandir, maka ia pun menggelupurlah hempas pulas kesana kemari tiada ketahuan lagi. Ada seketika Pak Pandir pun kembalilah ke negeri yang kekal, lalu ditanamkan oleh Mak Andeh di bawah lesung penumbuk padi.
Maka tinggallah Mak Andeh seorang diri dengan duka percintaannya. Ada kira-kira selang tiga bulan Mak Andeh pun sakit lalu mati. Demikianlah ceritanya.